2019! Satelit Militer Indonesia Resmi Mengorbit Di Luar Angkasa
Betapa rawan Indonesia, negara dengan postur militer terbesar di kawasan Asia Tenggara, namun hingga kini belum juga mempunyai satelit khusus militer. Padahal negara tetannga, seperti Australia, Singapura dan Malaysia sudah mengorbitkan satelit militernya. Karena tiadanya satelit militer, TNI pernah menggunakan satu transponder Satelit Papala B4 milik PT Telkom. Satelit Palapa B4 dioperasikan pada tahun 1992 hingga berakhir pada tahun 2005. Terakhir ada BRIsat yang baru diluncurkan dan digunakan oleh Siskomsat (Sistem Komunikasi Satelit) TNI AL.
Seberapa pentingkah satelit bagi TNI? Jawabannya tentu teramat penting, mengingat kontur geografis dan gelar mobilitas antar satuan, maka satelit-lah yang diunggulkan sebagai backbone jaringan komunikasi. Misalnya saat TNI AD, TNI AL dan TNI AU membahas implementasi data link serta interoperability di lingkup Kodal (Komando dan Pengendalian), maka ujung-ujungnya satelit yang menjadi hub di level macro.
Di Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional), perangkat C-MOV (Central Monitoring and Observation Vehicle) yang bisa memonitor visual radar militer dan radar sipil secara terinregrasi, jelas juga butuh satelit. Di matra laut, soerang Panglima armada untuk bisa memantau keberadaan (posisi) tiap kapal perang pun juga butuh dukungan satelit, selain ada jalur komunikasi radio.
Meski dibesut dengan solusi enkripsi dan protokol data, jalur akses komunikasi dipandang masih punya kerawanan, baik dari sisi pencurian data sampai urusan jamming. Terlebih dengan satelit sewaan yang ada campur tangan asing, maka keamanan data nasional jadi taruhan. Idealnya memang bisa disediakan satelit buatan dalam negeri, sayangnya untuk level satelit komunikasi yang berisi multi transponder teknologinya kita kuasai.
Dan seperti telah diketahui bersama, Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI telah resmi menunjuk Airbus Defence and Space (ADS) untuk menggarap proyek satelit militer untuk Indonesia. Sebelumnya telah dilakukan tender yang diikuti oleh Orbital Sciences Corp dari Amerika Serikat, Loral Space Systems, serta produsen satelit dari Rusia. Merujuk ke situs kontan.co.id (13/4/2016), nilai proyek satelit ini mencapai lebih dari US$500 juta, belum termasuk biaya peluncuran dan asuransi yang totalnya bisa mencapai sekitar US$300 juta. Total nilai proyek ini bahkan bisa mencapai US$1 miliar atau sekitar Rp13 triliun.
Sebagai tindak lanjut, Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan Marsekal Muda M. Syaugi pernah menyebut, “Proyek ini sudah dikucuri anggaran sebesar Rp1,3 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016.” Menurut jadwal, ADS akan merampungkan proyek ini pada akhir tahun 2018 dan roket beserta satelit bakal diluncurkan pada tahun 2019. Kemkominfo selaku administrator telekomunikasi telah menunjuk Kemhan sebagai operator satelit ini, dan telah menginformasikan penujukkan ini kepada ITU (International Telecommunication Union).
Dari kesemuanya, pemegang peran utama adalah satelit geostationer. Dengan beroperasi di ketinggian 36.000 Km, fungsi satelit ini sebagai penunjang peran komunikasi. Karena sifatnya geostationer yang ‘standby’ diatas langit Nusantara, satelit ini siap melayani kebutuhan akses selama 24 jam selama rentang waktu 15 tahun. Satelit komunikasi militer ini berjalan di spektrum frekuensi L-band, FSS, BSS, Ku-, C-, dan Ka-. Satelit geostationer ini dipersipkan untuk mengisi slot orbit 123BT.
Sementara untuk satelit non geostationer (NGSO), dari tiga unit yang dipesan, namun hanya dua unit yang ikut diorbitkan bersama satelit GSO. Sisanya satu unit satelit dipersiapkan sebagai cadangan di Bumi. Dengan pola operasi mengikuti orbit di Bumi, maka satelit terus bergerak mengikuti ritme yang telah ditentukan. Dalam 24 jam, setiap satelit 14 kali melintasi wilayah Indonesia (circular near equatorial).
Dengan beroperasi di ketinggian orbit rendah 650 Km, fungsi satelit ini sebagai remote sensing dan pengintaian. Waktu layanan satelit NGSO tak sepanjang satelit GSO, yakni pada rentang tiga sampai lima tahun. Satelit pengintai (spy) ini berjalan di di spektrum frekuensi UHF, SHF, L-band, X-band, dan S-band. Dari paparan diatas, pihak Kemhan menyebut komponen satelit GSO dan NGSO merupakan satu kesatuan dalam arsitektur Satuan Pertahanan.
Disamping faktor diatas, pengadaan satelit ini dari aspek strategis juga tak bisa ditawar. Pasalnya Pemerintah RI harus melaksanakan program ini karena sesuai aturan ITU, sejak satelit Indonesia “Garuda-1” dinyatakan de-orbit Januari 2015, maka Indonesia harus mengisi slot orbit 123BT dengan satelit L-band paling lambat Januari 2018 (3 tahun). Bila tidak dilakukan, Indonesia akan kehilangan hak atas alokasi spektrum L-band tersebut selama-lamanya.
Mengingat satelit produksi Airbus Defence and Space baru selesai dan mengorbit pada tahun 2019, maka diperlukan satelit sementara ( interim) untuk memanfaatkan alokasi spektrum L-band tersebut dan mengisi orbit 123BT. Untuk keperluan ini telah ditandatangani kesepakatan penyewaan satelit “Artemis” dengan Avanti Communications Limited (operator satelit dari Inggris) guna melindungi alokasi slot dan spektrum sampai dengan satelit produksi Airbus on-orbit.
Situasi di atas membuat program ini terkesan “mendadak”, dan anggaran negara belum direncanakan untuk kegiatan tersebut. Namun karena nilai penting dan strategis alokasi spektrum tersebut, Presiden RI telah memerintahkan penyelamatan dan pengelolaannya oleh Pemerintah Indonesia (Rapat Kabinet Terbatas tanggal 4 Desember 2015). Menindaklanjuti hal ini, Menhan telah mengirimkan surat permohonan alokasi anggaran ke Menkeu.
Sedikit proyeksi ke tahun 2019, saat dimana TNI AU sudah memiliki jet tempur dengan kemampuan Network Centric Warfare, maka peran satelit militer bakal mengoptimalkan jalur komunikasi dan data di jet tersebut. Begitu juga dalam segmen drone (UAV), misi intai jarak jauh drone dapat dikendalikan dari mana saja, saat drone terbang di udara Papua, bia saja sang operator berada nun jauh di Jakarta. Konsep Battlefield Management System yang diterapkan pada elemen infanteri dan kavaleri TNI AD juga akan merasakan manfaat positif dari hadirnya satelit khusus militer. Belum lagi kegunaan terkait misi SAR dan intai mengintai. Jika sudah begini, gelontoran dana hingga belasan triliun rasanya cukup worth it. (Haryo Adjie) Sumber: Indomiliter.com
Seberapa pentingkah satelit bagi TNI? Jawabannya tentu teramat penting, mengingat kontur geografis dan gelar mobilitas antar satuan, maka satelit-lah yang diunggulkan sebagai backbone jaringan komunikasi. Misalnya saat TNI AD, TNI AL dan TNI AU membahas implementasi data link serta interoperability di lingkup Kodal (Komando dan Pengendalian), maka ujung-ujungnya satelit yang menjadi hub di level macro.
Proses pembuatan satelit oleh Airbus Defence and Space.as
Di Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional), perangkat C-MOV (Central Monitoring and Observation Vehicle) yang bisa memonitor visual radar militer dan radar sipil secara terinregrasi, jelas juga butuh satelit. Di matra laut, soerang Panglima armada untuk bisa memantau keberadaan (posisi) tiap kapal perang pun juga butuh dukungan satelit, selain ada jalur komunikasi radio.
Meski dibesut dengan solusi enkripsi dan protokol data, jalur akses komunikasi dipandang masih punya kerawanan, baik dari sisi pencurian data sampai urusan jamming. Terlebih dengan satelit sewaan yang ada campur tangan asing, maka keamanan data nasional jadi taruhan. Idealnya memang bisa disediakan satelit buatan dalam negeri, sayangnya untuk level satelit komunikasi yang berisi multi transponder teknologinya kita kuasai.
Akhirnya Satelit Meliter Untuk Indonesia
Dan seperti telah diketahui bersama, Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI telah resmi menunjuk Airbus Defence and Space (ADS) untuk menggarap proyek satelit militer untuk Indonesia. Sebelumnya telah dilakukan tender yang diikuti oleh Orbital Sciences Corp dari Amerika Serikat, Loral Space Systems, serta produsen satelit dari Rusia. Merujuk ke situs kontan.co.id (13/4/2016), nilai proyek satelit ini mencapai lebih dari US$500 juta, belum termasuk biaya peluncuran dan asuransi yang totalnya bisa mencapai sekitar US$300 juta. Total nilai proyek ini bahkan bisa mencapai US$1 miliar atau sekitar Rp13 triliun.Sebagai tindak lanjut, Direktur Jenderal Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan Marsekal Muda M. Syaugi pernah menyebut, “Proyek ini sudah dikucuri anggaran sebesar Rp1,3 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016.” Menurut jadwal, ADS akan merampungkan proyek ini pada akhir tahun 2018 dan roket beserta satelit bakal diluncurkan pada tahun 2019. Kemkominfo selaku administrator telekomunikasi telah menunjuk Kemhan sebagai operator satelit ini, dan telah menginformasikan penujukkan ini kepada ITU (International Telecommunication Union).
Konfigurasi Satelit Militer Indonesia
Meski detail spesifikasi satelit militer Indonesia yang kini dalam proses penggarapan bersifat rahasia. Namun kami berhasil mengurai sedikit konfigurasi dari paket satelit pesanan Kemhan ini. Dalam Proyeksi dan Kegiatan Kemhan Tahun 2016, disebutkan bahwa komponen paket satelit militer Indonesia terdiri dari satu (1) unit satelit geostationer (GSO) dan tiga (3) unit satelit non geostationer (NGSO).Dari kesemuanya, pemegang peran utama adalah satelit geostationer. Dengan beroperasi di ketinggian 36.000 Km, fungsi satelit ini sebagai penunjang peran komunikasi. Karena sifatnya geostationer yang ‘standby’ diatas langit Nusantara, satelit ini siap melayani kebutuhan akses selama 24 jam selama rentang waktu 15 tahun. Satelit komunikasi militer ini berjalan di spektrum frekuensi L-band, FSS, BSS, Ku-, C-, dan Ka-. Satelit geostationer ini dipersipkan untuk mengisi slot orbit 123BT.
Sementara untuk satelit non geostationer (NGSO), dari tiga unit yang dipesan, namun hanya dua unit yang ikut diorbitkan bersama satelit GSO. Sisanya satu unit satelit dipersiapkan sebagai cadangan di Bumi. Dengan pola operasi mengikuti orbit di Bumi, maka satelit terus bergerak mengikuti ritme yang telah ditentukan. Dalam 24 jam, setiap satelit 14 kali melintasi wilayah Indonesia (circular near equatorial).
Dengan beroperasi di ketinggian orbit rendah 650 Km, fungsi satelit ini sebagai remote sensing dan pengintaian. Waktu layanan satelit NGSO tak sepanjang satelit GSO, yakni pada rentang tiga sampai lima tahun. Satelit pengintai (spy) ini berjalan di di spektrum frekuensi UHF, SHF, L-band, X-band, dan S-band. Dari paparan diatas, pihak Kemhan menyebut komponen satelit GSO dan NGSO merupakan satu kesatuan dalam arsitektur Satuan Pertahanan.
Dihadapkan Pada Dilema
Nilai pengadaan satelit harus diakui sangat menyedot porsi anggaran pertahanan, namun disatu sisi manfaat hadirnya satelit ini memang sangat vital. Selain utamanya melayani kepentingan militer, satelit ini nantinya akan digunakan untuk keperluan pemerintah lainnya (penanggulangan bencana, kelautan dan perikanan, SAR, penanganan terorisme, komunikasi daerah terpencil, dan sebagainya).Disamping faktor diatas, pengadaan satelit ini dari aspek strategis juga tak bisa ditawar. Pasalnya Pemerintah RI harus melaksanakan program ini karena sesuai aturan ITU, sejak satelit Indonesia “Garuda-1” dinyatakan de-orbit Januari 2015, maka Indonesia harus mengisi slot orbit 123BT dengan satelit L-band paling lambat Januari 2018 (3 tahun). Bila tidak dilakukan, Indonesia akan kehilangan hak atas alokasi spektrum L-band tersebut selama-lamanya.
Mengingat satelit produksi Airbus Defence and Space baru selesai dan mengorbit pada tahun 2019, maka diperlukan satelit sementara ( interim) untuk memanfaatkan alokasi spektrum L-band tersebut dan mengisi orbit 123BT. Untuk keperluan ini telah ditandatangani kesepakatan penyewaan satelit “Artemis” dengan Avanti Communications Limited (operator satelit dari Inggris) guna melindungi alokasi slot dan spektrum sampai dengan satelit produksi Airbus on-orbit.
Situasi di atas membuat program ini terkesan “mendadak”, dan anggaran negara belum direncanakan untuk kegiatan tersebut. Namun karena nilai penting dan strategis alokasi spektrum tersebut, Presiden RI telah memerintahkan penyelamatan dan pengelolaannya oleh Pemerintah Indonesia (Rapat Kabinet Terbatas tanggal 4 Desember 2015). Menindaklanjuti hal ini, Menhan telah mengirimkan surat permohonan alokasi anggaran ke Menkeu.
Sedikit proyeksi ke tahun 2019, saat dimana TNI AU sudah memiliki jet tempur dengan kemampuan Network Centric Warfare, maka peran satelit militer bakal mengoptimalkan jalur komunikasi dan data di jet tersebut. Begitu juga dalam segmen drone (UAV), misi intai jarak jauh drone dapat dikendalikan dari mana saja, saat drone terbang di udara Papua, bia saja sang operator berada nun jauh di Jakarta. Konsep Battlefield Management System yang diterapkan pada elemen infanteri dan kavaleri TNI AD juga akan merasakan manfaat positif dari hadirnya satelit khusus militer. Belum lagi kegunaan terkait misi SAR dan intai mengintai. Jika sudah begini, gelontoran dana hingga belasan triliun rasanya cukup worth it. (Haryo Adjie) Sumber: Indomiliter.com
0 Response to "2019! Satelit Militer Indonesia Resmi Mengorbit Di Luar Angkasa"
Post a Comment