Modul HOMEOSTASIS NORMAL ASAM-BASA
HOMEOSTASIS NORMAL ASAM-BASA
PH arteri sistemik dipertahankan antara 7,35 – 7,45 oleh buffer kimia intra/ekstraseluler, bersama dengan mekanisme regulasi respirasi dan renal. Stabilisasi pH arteri dengan cara ekskresi/retensi asam/basa, berjalan dengan kontrol PaCO2 oleh SSP dan sistem respirasi; serta kontrol bikarbonat plasma oleh ginjal.
Komponen metabolik dan respirasi yang mengatur pH isitemik digambarkan dalam persamaan Henderson-Hasselbach :
HCO3-
PH = 6,1 + log
PaCO2 x 0,0301
Produksi dan ekskresi CO2 disesuaikan sedemikian rupa untuk mempertahankan PaCO2 pada 40 mmHg. Berkurangnya ekskresi CO2 menyebabkan terjadinya hiperkapnia dan ekskresi berlebih mengakibatkan terjadinya hipokapnia. Namun produksi dan ekskresi disesuaikan lagi pada kadar tetap (steady-state) PaCO2 yang baru. PaCO2 diatur secara primer oleh faktor-faktor respirasi neural dan tidak diatur oleh kecepatan produksi CO2. Hiperkapnia biasanya akibat dari hipoventilasi daripada akibat meningkatnya produksi CO2.
Naik/turunnya PaCO2 menggambarkan kekacauan kontrol respirasi neural atau sebagai respon kompensasi dari perubahan primer kadar bikarbonat plasma.
Perubahan primer PaCO2 dapat menyebabkan asidosis atau alkalosis respiratorik, tergantung dari apakah PaCO2 > atau <nilai normalnya (40 mmHg). Perubahan primer PaCO2 menimbulkan buffer seluler dan adaptasi renal, suatu proses lambat yang efisien.
Perubahan primer bikarbonat plasma sabagai akibat yang timbul dari faktor-faktor metabolic/renal menyebabkan perubahan kompensasi ventilasi yang hampir tidak merubah pH darah. Jadi perubahan respirasi merupakan perubahan sekunder/kompensasi sebagai respon adanya perubahan metabolik primer.
Ginjal mengatur kadar bikarbonat plasma melalui 3 proses utama :
- reabsorpsi bikarbonat yang telah difiltrasi
- pembentukan asam yang dapat dititrasi
- ekskresi NH4+ melalui urine
Ginjal memfiltrasi hampir 4000 mmol bikarbonat per hari. Untuk mereabsorsi bikarbonat yang telah difiltrasi, tubulus ginjal harus mensekresi 4000 mmol ion hydrogen. 80-90% reabsorsi bikarbonat terjadi di tubulus proksimal. Nefron di distal mereabsorpsi sisanya dan proton yang disekresi sebagai hasil metabolisme, untuk mempertahankan pH sistemik. Ketika jumlah proton, 40-60 mmol perhari, sedikit, ia harus disekresikan untuk mencegah balans positif H+ kronik dan asidosis metabolik. Jumlah proton yang disekresi terlihat dalam urin sebagai asam yang dapat dititrasi dan NH4+. Asidosis metabolik yang terjadi pada fungsi ginjal normal, meningkatkan produksi dan ekskresi NH4+. Produksi dan ekskresi NH4+ terganggu pada CRF, hiperkalemia, dan renal tubular acidosis.
Sebagai kesimpulan, respon-respon regulasi ini, termasuk buffer kimia, regulasi PaCO2 oleh sistem respirasi, dan bikarbonat oleh ginjal, bekerja secara terpadu untuk mempertahanhan pH arteri sistemik antara 7,35 - 7,45.
DIAGNOSIS GANGGUAN UMUM ASAM-BASA
Gangguan klinis yang tersering adalah kelainan asam-basa simple, yaitu : asidosis/alkalosis metabolic, atau asidosis/alkalosis respiratorik. Karena kompensasi yang terjadi tidak lengkap, pada gangguan yang simple ini terdapat pH abnormal. Keadaan klinis yang lebih kompleks dapat menyebabkan gangguan asam-basa tipe campuran.
Kelainan Asam-Basa Simpel
Gangguan respirasi primer (perubahan primer PaCO2) menyebabkan terjadinya respon kompensasi metabolik (perubahan sekunder bikarbonat), dan gangguan metabolik primer menyebabkan respon kompensasi respirasi yang dapat diduga. Kompensasi fisiologis dapat diprediksikan dari hubungan yang tertera pada table berikut.
Perubahan primer PaCO2 atau bikarbonat, merubah pH sistemik dan menyebabkan asidosis/alkalosis. Asidosis metabolik karena meningkatnya asam endogen (mis.: ketoasidosis) menurunkan kadar bikarbonat cairan ekstraseluler dan menurunkan pH ekstraseluler. Hal ini merangsang kemoreseptor di medulla untuk meningkatkan ventilasi dan mengembalikan rasio bikarbonat : PaCO2 dan pH ke arah normal, walaupun tidak sampai normal.
Cara lain untuk menilai memadai/tidaknya respon bikarbonat atau PaCO2 adalah menggunakan nomogram asam-basa.
Ketika daerah yang berwarna gelap pada nomogram memperlihatkan 95% confidence limits untuk kompensasi normal pada gangguan asam-basa simple, menemukan nilai asam-basa pada daerah yang berwarna gelap tidak kemudian menyingkirkan gangguan tipe campuran. Nomogram ini bukanlah pengganti persamaan pada tabel sebelumnya.
Kelainan Asam-Basa tipe Campuran
Kelainan asam-basa tipe campuran bukanlah respon kompensasi, melainkan kelainan independen yang terjadi bersamaan. Kelainan asam-basa tipe campuran ini sering terlihat pada penderita di critical care units dan dapat menunjukkan pH ekstrem yang berbahaya. Pasien dengan ketoasidosis diabetes (asidosis metabolic) bisa berkembang menjadi persoalan pernafasan independen yang mengarah ke asidosis atau alkalosis respiratorik. Pasien dengan penyakit paru dapat tidak berespon terhadap asidosis metaboliknya dengan respon ventilasi yang memadai karena insufisiensi cadangan respirasinya. Keadaan tumpang tindih asidosis respiratorik pada asidosis metabolic dapat mengarah ke asidemia yang berat dan prognosisnya tidak baik. Bila asidosis metabolic dan alkalosis metabolic terjadi bersamaan pada seorang pasien pH dapat normal atau mendekati normal. Bila pH nya normal meningginya anion gap menunjukkan adanya asidosis metabolic. Pasien diabetik dengan ketoasidosis dapat mengalami disfungsi renal sebagai akibat dari asidosis metabolic yang simultan. Pasien dengan overdosis kombinasi obat seperti sedatif dan salisilat, dapat mengalami gangguan tipe campuran sebagai akibat respon asam-basa terhadap masing-masing obat (berturut-turut asidosis metabolic tercampur dengan asidosis/alkalosis respiratorik).
Bahkan bisa terjadi gangguan yang lebih kompleks berupa triple asam-basa. Sebagai contoh pasien dengan asidosis metabolic yang berhubungan dengan ketoasidosis alkaholik dapat jatuh kedalam alkalosis metabolic akibat muntah dan juga alkalosis respiratorik karena hiperventilasi dari disfungsi hatinya atau putus tiba-tiba dari alcohol.
Diagnosis kelainan asam-basa
Dalam mengambil sampel darah arteri untuk pemeriksaan gas darah tidak dibenarkan penggunaan heparin berlebihan. Dalam menentukan analisa gas darah arteri secara laboratories, baik pH dan PaCO2 diukur, dan kadar bikarbonat dihitung dari persamaan Henderson-Hasselbach. Nilai perhitungan ini harus dibandingkan dengan pengukuran kadar bikarbonat (CO2 total) pada panel elektrolit. Dua nilai ini harus berada dalam perbedaan 2 mmol/l. Bila tidak, nilai tersebut tidak dapat tergambar secara simultan, dapat terjadi kesalahan laboratories atau kesalahan dalam menghitung kadar bikarbonat. Sesudah verifikasi nilai asam-basa darah, baru dapat di identifikasi kelainan asam-basa dengan tepat.
Penyebab yang paling sering kelainan asam-basa harus sudah terpikir ketika dilakukan anamnesis pada penderita untuk mencari petunjuk tentang etiologi. Sebagai contoh, adanya CRF akan mengarah ke asidosis metabolic, muntah yang kronis sering menyebabkan alkalosis metabolic. Pasien dengan pneumonia, sepsis, atau gagal jantung sering mengalami alkalosis respiratorik, dan pasien dengan COPD atau overdosis obat sedatif sering mengalami asidosis respiratorik. Anamnesis obat adalah penting karena diuretic loop atau tiazid dapat menyebabkan alkalosis metabolic dan inhibitor carbonic anhidrase, asetazolamid, dapat mengakibatkan asidosis metabolic. Pemeriksaan elektrolit darah dan analisa gas darah harus dikerjakan bersamaan sebelum terapi, karena kenaikan bikarbonat terjadi pada alkalosis metabolic dan asidosis respiratorik. Sebaliknya penurunan bikarbonat terjadi pada asidosis metabolic dan alkalosis respiratorik.
Asidosis metabolic mengarah kepada terjadinya hiperkalemi akibat pertukaran seluler dimana H+ ditukar dengan K+ atau Na+. Untuk setiap penurunan pH darah 0,1, kadar K+ plasma seharusnya naik 0,6 mmol/l. Hubungan ini tidak selalu begitu. Ketoasidosis diabetik, asidosis laktat, diare, dan renal tubular asidosis sering berhubungan dengan menurunnya kalium karena urinary wasting.
Anion gap
Semua evaluasi kelainan asam-basa harus mengikuti perhitungan sederhana dari anion gap; anion gap mewakili anion-anion plasma yang tidak terukur (normalnya 10-12 mmol/l) dan dihitung dengan rumus: AG=Na+-(Cl-+HC03-). Anion-anion yang tidak terukur meliputi protein-protein anionic, fosfat, sulfat, dan anion organic. Bila anion asam seperti asetoasetat dan laktat, terakumulasi pada cairan ekstraseluler, anion gap meningkat menyebabkan asidosis dengan anion gap tinggi.
Peningkatan anion gap tersering karena meningkatnya anion-anion yang tidak terukur dan jarang Karena menurunnya kation-kation yang tidak terukur (Ca, Mg, K). Sebagai tambahan anion gap dapat meningkat dengan meningkatnya albumin anionic, baik karena meningkatnya konsentrasi albumin atau alkalosis, akan merubah beban albumin.
Penurunan anion gap dapat terjadi karena:
1. Meningkatnya kation-kation yang tidak terukur
2. Adanya penambahan kation abnormal dalam darah, seperti litium (intoksikasi litium) atau imunoglobulin kationik (diskrasia sel plasma)
3. Pengurangan konsentrasi albumin anion plasma mayor (sindroma nefrotik)
4. Berkurangnya beban anion efektif pada albumin dengan adanya asidosis
5. Hiperviskositas dan hiperlipidemia yang berat yang dapat mengarah kepada kadar natrium dan klorida di bawah perkiraan.
Pada keadaan albumin serum normal, tingginya anion gap biasanya terjadi karena asam-asam yang tidak mengandung klorida yang mengandung anorganik (fosfat, sulfat), organic (asam keto, laktat, anion organic uremik), eksogen (salisilat, atau toksin yang memproduksi asam organic), atau anion-anion yang tidak teridentifikasi. Sesuai definisi, karenanya, asidosis dengan anion gap yang tinggi memiliki dua gambaran: rendahnya kadar bikarbonat dan meningkatnya anion gap. Meningkatnya anion gap pada kelainan asam-basa bahkan terjadi bersamaan untuk mengubah kadar bikarbonat secara independen. Asidosis metabolic dengan anion gap tinggi yang simultan baik dengan asidosis respiratorik kronik atau alkalosis metabolic, menggambarkan keadaan dimana kadar bikarbonat dapat normal atau bahkan tinggi. Namun anion gap meningkat dan kadar klorida menurun.
Nilai normal bikarbonat, PaCO2, dan pH, tidak menjamin bahwa tidak ada kelainan asam-basa. Sebagai contoh, penderita alkoholik yang muntah-muntah dapat jatuh ke alkalosis metabolic dengan pH 7,55, PaCO2 48 mmHg, kadar bikarbonat 40 mmol/l, kadar Na+ 135, kadar Cl- 80, dan kadar K+ 2,8. Bila pasien tersebut kemudian jatuh kedalam keadaan ketoasidosis alkoholik dengan konsentrasi beta hidroksi butirat 15 mM, pH arteri akan turun menjadi 7,4, kadar bikarbonat menjadi 25 mmol/l dan PaCO2 menjadi 40 mmHg. Walaupun analisa gas darahnya normal anion gap meningkat 30 mmol/l, menunjukkan campuran alkalosis metabolic dan asidosis metabolic.
Asidosis metabolic
Asidosis metabolic dapat terjadi karena meningkatnya produksi asam endogen (seperti laktat dan asam keto), kehilangan bikarbonat (seperti pada diare), atau akumulasi asam endogen (seperti pada gagal ginjal). Efek asidosis metabolic terjadi pada sistim respirasi, kardiak dan saraf. Turunnya pH darah disertai meningkatnya ventilasi, khususnya volume tidal (respirasi kusmaul). Kontraktilitas jantung intrinsic dapat berkurang, tetapi fungsi inotropik dapat normal Karena pelepasan katekolamin. Vasodilatasi arteri perifer dan venokonstriksi sentral dapat terjadi; turunnya compliance vascular sentral dan pulmoner menjadi predisposisi untuk terjadinya edema paru bahkan dengan volume overload yang minimal. Fungsi SSP akan menurun dengan adanya sakit kepala, letargi, stupor, dan bahkan dapat juga terjadi intoleransi glukosa.
Terapi
Terapi asidosis metabolic dengan pemberian alkali hanya untuk asidemia yang berat kecuali bila pasien tidak memiliki “ potensial HCO3-“ pada plasmanya. Kadar bikarbonat potensial dapat diperkirakan dari peningkatan D anion gap (DAG=DAG penderita-10). Harus ditentukan apakah anion asam pada plasma dapat dimetabolisir(beta hidroksi butirat, asetoasetat, laktat) atau tidak dimetabolisir (anion yang terakumulasi pada CRF dan setelah keracunan). Anion yang tidak dimetabolisir memerlukan kembalinya fungsi ginjal untuk mengganti kekurangan bikarbonat, suatu proses yang lambat dan sering tidak dapat diprediksi. Konsekwensinya pasien asidosis dengan normal AG (asidosis hiperkloremik) meningkatnya AG ringan (campuran hiperkloremik dan asidosis AG), atau AG diakibatkan oleh anion yang tidak termetabolisir pada keadaan gagal ginjal harus diberikan terapi alkali baik oral (NaHCO3 atau cairan Shohl’s) maupun intravena (NaHCO3) dalam jumlah yang diperlukan untuk peningkatan kadar bikarbonat plasma secara lambat menjadi berkisar antara 20 sampai 22 mmol/l.
Namun terdapat controversial pada pemakaian alkali pada penderita dengan asidosis AG murni karena akan terjadi akumulasi anion asam organic yang dapat dimetabolisir (ketoasidosis atau laktat asidosis). Pada umumnya asidosis berat (pH < 7,2) harus mendapat NaHCO3 intravena 50-100 meq selama lebih dari 30-45 menit selama terapi inisial 1-2 jam pertama. Sebagai syaratnya harus dilakukan monitor elektrolit plasma selama terapi karena kadar kalium dapat turun dengan naiknya pH. Tujuannya adalah meningkatkan kadar bikarbonat sampai 10 meq/l dan pH sampai 7,25, tidak untuk menaikkan nilai-nilai ini sampai normal.
Asidosis dengan tingginya AG
1. Asidosis laktat
2. Ketoasidosis
3. Keracunan
4. ARF dan CRF
Skrining awal untuk membedakan asidosis dengan anion gap tinggi harus meliputi :
1. Anamnesis untuk mencari bukti adanya obat dan racun yang ditelan dan pengukuran analisa gas darah untuk mendeteksi alkalosis respiratorik yang terjadi bersamaan (salisilat).
2. Menentukan apakah ada DM (ketoasidosis diabetik).
3. Mencari bukti alcoholism atau meningkatnya beta hidroksi butirat (ketoasidosis alkoholik).
4. Observasi tanda klinis uremia dan menentukan BUN dan kreatinin (asidosis uremik).
5. Pemeriksaan urin untuk kristal oksalat (etilen glikol).
6. Mengenali berbagai latar belakang klinis dimana kadar laktat meningkat (hipotensi, shock, gagal jantung, leukaemia, kanker, dan menelan obat atau racun).
Asidosis laktat
Meningkatnya L-laktat plasma dapat terjadi sekunder dari buruknya perfusi jaringan (tipe A)_insufisiensi sirkulasi (shock, kegagalan sirkulasi)anemia berat, gangguan enzim mitokondria, dan inhibitor (CO, sianida)_ atau kelainan aerobik (tipe B)_keganasan, DM, gagal ginjal atau hati, infeksi berat (kolera, malaria), kejang, AIDS, atau obat-obatan/toksin (biguanid, etanol, methanol, isoniasid, analog AZT, dan fruktosa. Iskemi usus yang tidak diketahui atau infark pada penderita dengan aterosklerosis berat atau dekompensasi jantung yang mendapat vasopresor adalah penyebab yang sering dari asidosis laktat. Asidosis asam D-laktat, yang dapat berhubungan dengan bypas yeyunoileal atau obstruksi usus dan berhubungan dengan pembentukan D-laktat oleh bakteri usus, dapat menyebabkan baik meningkatnya anion dan hiperkloremi.
Terapi Penyakit dasar yang mengganggu metabolisme laktat harus dikoreksi; perfusi jaringan harus dipulihkan bila sebelumnya tidak adekuat. Vasokonstriktor sebaiknya dihindari bila mungkin, karena akan memperburuk perfusi jaringan. Terapi alkali pada umumnya dianjurkan untuk asidemia berat yang akut (pH <7,1) untuk memperbaiki fungsi jantung dan penggunaan laktat. Namun terapi NaHCO3 dapat secara paradoks mendepresi performance jantung dan mengeksarsebasi asidosis dengan cara memacu produksi laktat (HCO3- merangsang fosfofruktokinase. Pemakaian basa pada asidosis laktat moderat merupakan hal yang controversial, namun pada umumnya disepakati bahwa usaha untuk mengembalikan pH dan HCO3- ke nilai normalnya dengan memberikan NaHCO3 dapat memperburuk keadaan. Pendekatan yang logis adalah memberikan infus NaHCO3 secukupnya untuk meningkatkan pH arteri tidak lebih dari 7,2 selama 30-40 menit. Terapi NaHCO3 dapat menyebabkan kelebihan cairan dan hipertensi karena jumlah yang diperlukan dapat masif bila akumulasi asam laktat sangat banyak. Pemberian cairan mempunyai toleransi yang buruk Karena venokonstriksi sentral khususnya pada penderita oliguria. Bila penyebab yang mendasari asidosis laktat dapat diperbaiki, laktat darah akan diubah menjadi HCO3- dan mengakibatkan alkalosis.
Ketoasidosis
§ Ketoasidosis diabetik
Kondisi ini disebabkan oleh meningkatnya metabolisme asam lemak dan akumulasi asam keto (asetoasetat dan beta hidroksi butirat). Ketoasidosis diabetik biasanya terjadi pada DM tipe I yang berhubungan dengan dihentikannya insulin atau penyakit yang terjadi bersamaan seperti infeksi, gastroenteritis, pankreatitis, atau infark jantung yang meningkatkan kebutuhan insulin sementara dan akut. Akumulasi asam keto bertanggung jawab atas naiknya anion gap dan disertai paling sering dengan hiperglikemi (glukosa > 300 mg/dl). Harus di ingat bahwa insulin mencegah produksi keton, terapi bikarbonat jarang diperlukan kecuali dalam keadaan asidemia ekstrim (pH < 7,1) dan hanya diperlukan dalam jumlah terbatas.
§ Ketoasidosis alkoholik
Alkoholisme kronis dapat menjadi ketoasidosis bila konsumsi alcohol mendadak dikurangi; biasanya disertai dengan pesta minuman keras, muntah, nyeri abdomen, starvasi, dan deplesi volume. Konsentrasi glukosa normal atau rendah, dan asidosis dapat berat karena meningkatnya keton yang didominasi beta hidroksi butirat. Asidosis laktat ringan dapat terjadi bersamaan karena perubahan dalam status redox. Reaksi keton nitroprusid (Ace test) dapat mendeteksi asam asetoasetat tetapi tidak beta hidroksi butirat sehingga derajat ketosis dan ketonuria dapat diperkirakan terlampau rendah. Kadar insulin rendah, dan konsentrasi trigliserid, kortisol, glukagon, dan growth hormon meninggi.
Terapi Kekurangan cairan ekstraseluler harus diganti dengan pemberian intravena 5% dekstrose dalam 0,9% Nacl. Hipofosfatemi, hipokalemi, dan hipomagnesemi dapat terjadi bersamaan dan harus dikoreksi. Hipofosfatemi biasanya muncul dalam 12-24 jam setelah pasien masuk rumah sakit dan dapat kambuh kembali oleh infus glukosa dan bila berat dapat menginduksi rhabdomiolisis. Perdarahan gastrointestinal atas, pankreatitis, dan pneumonia dapat menyertai kelainan ini.
Asidosis yang diinduksi obat dan toksin
Salisilat Keracunana salisilat pada orang dewasa biasanya menyebabkan alkalosis respiratorik, campuran asidosis metabolic-alkalosis respiratorik, atau metabolic asidosis murni dengan anion gap tinggi. Pada contoh yang terakhir, dimana lebih jarang terjadi, hanya bagian dari anion gap yang disebabkan salisilat. Produksi asam laktat sering juga meningkat.
Terapi Harus dimulai dengan gastric lavage dengan saline isotonic (bukan NaHCO3) diikuti pemberian karbon aktif. Pada penderita asidosis untuk mengeluarkan salisilat pemberian NaHCO3 i.v. untuk membuat urin menjadi alkalis harus diberikan dalam jumlah yang cukup dan untuk mempertahankan output urin (pH urin > 7,5). Ketika terapi ini diberikan pada pasien asidosis, alkalosis respiratorik yang terjadi bersamaan dapat menjadikan pendekatan terapi ini menjadi penuh resiko. Asetazolamid dapat diberikan bila diuresis alkalin tidak dapat tercapai tetapi obat ini dapat menyebabkan asidosis metabolic sistemik bila HCO3- tidak diganti. Hipokalemi dapat terjadi dengan diuresis alkalin dari NaHCO3 dan harus diterapi segera dan secara agresif. Cairan yang mengandung glukosa harus diberikan karena terdapat bahaya terjadi hipoglikemi. Banyaknya kehilangan cairan yang tidak terlihat dapat menyebabkan deplesi volume yang berat dan hipernatremi. Bila gagal ginjal menghambat bersihan cepat salisilat, dapat dilakukan hemodialisis menggunakan dialisat bikarbonat.
Alkohol Pada sebagian besar keadaan fisiologis, tekanan osmotic darah berasal dari sodium, urea, dan glukosa. Osmolalitas plasma dihitung dengan rumus: Posm = 2Na++Glu+BUN (semua dalam mmol/l) atau menggunakan nilai laboratorium konvensional dimana glukosa dan BUN dinyatakan dalam mg/dl: Posm = 2Na++Glu/18+BUN/2,8. Osmolalitas yang dihitung dan ditentukan harus berada dalam rentang 10-15 mmol/kg H2O. Bila osmolalitas yang diukur melebihi osmolalitas yang dihitung > 15-20 mmol/kg H2O dapat terjadi baik karena sodium serum rendah seperti pada hiperlipidemi atau hiperproteinemi (pseudohiponatremi, maupun karena terdapatnya osmolytes lain didalam plasma, seperti manitol, media radiokontras, isopropyl alcohol, etilenglikol, etanol, methanol, dan aseton. Pada keadaan ini perbedaan antara osmolalitas yang dihitung dan osmolalitas yang diukur (osmolar gap) sebanding dengan konsentrasi solute yang tidak terukur. Dengan anamnesis klinis yang memadai dan index of suspicion, identifikasi osmolar gap membantu mengidentifikasi adanya racun yang berhubungan dengan asidosis anion gap.
Etilen glikol Ingesti etilen glikol (biasanya digunakan untuk anti beku) mengarah keasidosis metabolic dan kerusakan yang berat dari SSP, jantung, paru, dan ginjal. Meningkatnya anion gap dan osmolar gap disebabkan oleh etilen glikol dan metaboliknya, asam oksalat, asam glikolat, dan asam organic lainnya. Produksi asam laktat meningkat sekunder untuk menginhibisi siklus asam trikarboksilat dan merubah redox state intraseluler.Diagnosis dibuat dengan menemukan kristal oksalat dalam urin, adanya osmolar gap dalam serum, dan asidosis dengan anion gap yang tinggi. Terapi sebaiknya tidak ditunda sementara menunggu pengukuran kadar etilen glikol.
Terapi Meliputi pemberian saline atau diuresis osmotic segera, suplemen tiamin dan piridoksin, fomepizole atau etanol, dan hemodialisis. Pemberian inhibitor alcohol dehidrogenase yang baru i.v, yaitu fomepizole (4-metil pirazole); 7mg/kgbb sebagai loading dose, atau etanol i.v. untuk mencapai level 22 mol/l (100 mg/dl) akan mengurangi toksisitas karena obat-obat ini akan berkompetisi dengan etilen glikol dalam metabolismenya oleh alcohol dehidrogenase. Fomepizole walaupun mahal memberikan manfaat berupa penurunan level etilen glikol yang dapat diprediksikan tanpa efek samping.
Metanol Ingesti methanol (alcohol kayu) menyebabkan asidosis metabolic dan metabolitnya formaldehid dan asam format menyebabkan kerusakan nervus optikus dan SSP yang berat. Asam lakta, asam keto, dan asam organic yang tidak teridentifikasi lainnya bertanggung jawab terhadap terjadinya asidosis. Karena BM nya yang rendah biasanya ada osmolar gap.
Terapi Sama seperti intoksikasi etilen glikol, meliputi pemeriksaan suportif umum, fomepizole atau etanol dan hemodialisis.
Gagal ginjal
Asidosis hiperkloremik pada insufisiensi renal moderat biasanya akan berubah menjadi asidosis dengan anion gap tinggi pada gagal ginjal lanjut. Filtrasi yang rendah dan reabsorpsi anion organic berperan pada patogenesisnya. Dengan bertambah progresifnya penyakit ginjal jumlah nefron yang berfungsi menjadi berkurang untuk mengimbangi produksi asam. Karakteristik asidosis uremik ditandai adanya penurunan produksi NH4+ dan ekskresinya, primer karena berkurangnya masa renal. Kadar bikarbonat jarang sampai dibawah 15 mmol/l dan anion gap jarang melebihi 20 mmol/l. Asam yang tertahan pada penyakit ginjal kronik didapar oleh garam alkalis dari tulang. Meskipun terdapat retensi asam yang signifikan (sampai 20 mmol/hari), bikarbonat serum tidak menurun, menunjukkan peran buffer di luar kompartemen ekstraseluler. Asidosis metabolic kronik mengakibatkan pengurangan masa tulang yang signifikan karena berkurangnya kalsium karbonat tulang. Asidosis kronik juga meningkatkan ekskresi kalsium urin, sebanding retensi asam kumulatif.
Terapi Baik asidosis uremik dan asidosis hiperkloremik pada gagal ginjal memerlukan terapi alkali oral pengganti untuk mempertahankan kadar bikarbonat antara 20-24 mmol/l. Hal ini dapat diatasi dengan sejumlah alkali yang relatif kecil (1-1,5 mmol/kgbb/hari). Diasumsikan bahwa penggantian alkali mencegah efek merugikan dari keseimbangan H+ pada tulang dan mencegah atau menunda katabolisme otot. Sodium sitrat (cairan Shohl’s) atau tablet NHCO3 sama efektifnya dengan garam alkali. Sitrat memacu absorpsi aluminium dari saluran cerna dan harus tidak diberikan bersama dengan antasida mengandung aluminium karena resiko terjadinya intoksikasi aluminium. Bila terjadi hiperkalemi, harus ditambahkan furosemid 60-80 mg/hari.
Asidosis metabolic hiperkloremik
Alkali dapat hilang dari saluran cerna melalui diare atau dari ginjal (renal tubular asidosis), pada kelainan ini terjadi perubahan resiprokal kadar Cl- dan HCO3- dengan hasil anion gap normal. Pada asidosis hiperkloremik murni peningkatan Cl- diatas nilai normal menyebabkan turunnya HCO3-, tidak adanya hubungan ini menunjukkan ada gangguan campuran.
Pada diare, feses yang mengandung HCO3- lebih tinggi dan HCO3- yang sudah di dekomposisi disbanding plasma, sehingga asidosis metabolic terjadi dengan deplesi volume. Selain pH urin asam (sebagaiman diantisipasi pada asidosis sistemik), pH urin biasanya sekitar 6 karena asidosis metabolic dan hipokalemi meningkatkan sintesis renal NH4+ dan ekskresinya yang merupakan buffer urin dan meningkatkan pH urin. Asidosis metabolic karena kehilangan cairan gastrointestinal dengan pH urin yang tinggi dapat dibedakan dari RTA karena ekskresi NH4+ urin rendah pada RTA dan tinggi pada diare. Kadar NH4+ urin dapat diperkirakan dengan menghitung anion gap urin = (Na++K+)urin-Cl- urin. Bila kadar Cl- urin > jumlah kadar Na+ dan K+, kadar ammonium urin meningkat dan menunjukkan sebab ekstra renal dari asidosis. Hilangnya fungsi parenkim ginjal dengan progresifitas penyakit ginjal mengarah ke asidosis hiperkloremik ketika laju filtrasi glomerular antara 20-50 ml/menit dan asidosis uremik dengan anion gap tinggi bila GFR turun < 20 ml/menit.Seperti progresi terjadi umumnya pada bentuk penyakit ginjal tubulo intertitial, tetapi asidosis metabolic hiperkloremik dapat menetap dengan penyakit glomerulus lanjut.Pada gagal ginjal lanjut, amoniagenesis berkurang sesuai dengan hilangnya fungsi masa renal, serta akumulasi ammonium dan trapping pada automedullary collecting tubule juga dapat terganggu. Karena peningkatan sekresi K+ adaptif oleh collecting duct dan kolon, asidosis pada insufisiensi ginjal kronik tipikal normokalemik.
Renal tubular asidosis proksimal (RTA tipe-2) tersering terjadi karena disfungsi tubulus proksimal menyeluruh yang manifestasinya berupa glukosuria, aminoacid uri menyeluruh dan fosfaturi (sindrom fanconi). Dengan rendahnya kadar HCO3- plasma, pH urin asaam (< 5,5) karena HCO3- secara normal tidak direabsorpsi ditubulus proksimal, terapi NaHCO3 akan memacu hilangnya kalium ginjal dan hipokalemi.
Penemuan tipikal pada RTA distal klasik (RTA tipe-1) meliputi hipokalemi, asidosis hiperkloremik, ekskresi NH4+ urin rendah (anion gap urin positif, NH4+ urin rendah) dan pH urin tinggi diatas 5,5. Beberapa pasien tidak mampu mengasamkan urinnya dibawah pH 5,5. Sebagian besar penderita mengalami hipositrat uria dan hiperkalsiuria sehingga sering terjadi nefrolitiasis, nefrokalsinosis dan penyakit tulang.
Pada RTA tipe-4 hiperkalemi tidak sebanding dengan berkurangnya GFR Karena disfungsi sekresi potassium dan asam terjadi bersama-sama. Ekskresi ammonium urin berkurang, dan fungsi renal dapat terganggu, sebagai contoh karena nefropati diabetik, amiloidosis, atau penyakit tubulo intertitial.
Hipoaldosteronisme hiporeninemik
Keadaan ini tipikal menyebabkan asidosis metabolic hiperkloremik, yang banyak terjadi pada dewasa yang lebih tua dengan DM atau penyakit tubulo intertitial dan insufisiensi ginjal. Biasanya pasien mengalami insufisiensi ginjal dan asidosis ringan-sedang, dengan peningkatan kalium serum (5,2-6 mmol/l), hipertensi yang bersamaan, dan gagal jantung kongestif. Baik asidosis metabolic dan hiperkalemi tidak menyebabkan terganggunya GFR. NSAID (trimetoprim, pentamidin, dan ACE-inhibitor, juga dapat menyebabkan hiperkalemi dengan asidosis metabolic hiperkloremik pada pasien insufisiensi ginjal.
Alkalosis metabolic
Manifestasi nya berupa meningkatnya pH arteri, meningkatnya HCO3- serum dan meningkatnya PaCO2 sebagai akibat kompensasi hipoventilasi alveolar. Hal ini sering disertai oleh hiperkloremi dan hipokalemi. Penderita dengan tingginya HCO3- dan rendahnya Cl- mengalami baik alkalosis metabolic maupun asidosis respiratorik kronik. Diagnosis ditegakkan dengan pH arteri yang meningkat pada alkalosis metabolic dan pH menurun atau normal pada asidosis respiratorik. Alkalosis metabolic terjadi dalam hubungannya dengan kelainan lain seperti asidosis respiratorik atau asidosis-alkalosis metabolic.
Patogenesis
Alkalosis metabolic terjadi sebagai akibat net gain dari HCO3- atau hilangnya asam nonvolatil dari cairan ekstraseluler (biasanya HCl melalui muntah). Sejak tidak biasa untuk menambahkan alkali ke badan, kelainan ini melibatkan tingkat generatif, dimana hilangnya asam biasanya menyebabkan alkalosis, dan tingkat pemeliharaan dimana ginjal gagal untuk mengkompensasi dengan mengekskresi HCO3- karena kontraksi volume, GFR yang rendah, atau deplesi Cl-, atau K+. Pada keadaan normal ginjal memiliki kemampuan kapasitas yang mengagumkan untuk mengekskresi HCO3-. Proses lanjut alkalosis metabolic menunjukkan kegagalan ginjal untuk mengeliminasi HCO3- seperti biasanya. Karena HCO3- biasa ditambahkan kecairan ekstraselular, ia mesti diberikan eksogen atau disintesis endogen, sebagian atau seluruhnya oleh ginjal. Ginjal akan menahan daripada mengekskresi kelebihan alkali dan mempertahankan keadaan alkalosis bila (1) defisiensi volume, klorit dan K+ terjadi dalam kombinasi dengan berkurangnya GFR dimana sekresi H+ pada tubulus distal bertambah; atau (2) terjadi hipokalemi Karena hiperaldosteronisme otonom. Pada contoh pertama, alkalosis dikoreksi dengan pemberian NaCl dan KCl. Sedangkan pada contoh kedua alkalosis perlu diperbaiki dengan intervensi farmakologis atau surgical, bukan dengan pemberian saline.
Diagnosis banding
Untuk mencari penyebab alkalosis metabolic, perlu untuk menilai status volume cairan ekstraseluler, tekanan darah berbaring dan pada posisi tegak, K+ serum dan sistem renin-aldosteron. Sebagai contoh, adanya hipertensi kronik dan hipokalemi kronik, pada penderita alkalosis menunjukkan baik kelebihan mineralokortikoid maupun penderita hipertensi tersebut mendapat terapi diuretic. Aktivitas renin plasma yang rendah dan kadar natrium dan klor urin yang normal pada pasien yang tidak mendapatkan diuretic menunjukkan sesuatu sindroma kelebihan mineralokortikoid primer. Kombinasi hipokalemi dan alkalosis pada penderita normotensif, tanpa edema, dapat disebabkan karena sindroma Bartter’s atau Gitelman’s, defisiensi magnesium, muntah, alkali eksogen, atau diuretic. Penentuan elektrolit urin (khususnya Cl- urin) dan skrining urin untuk diuretic dapat membantu. Bila urin basa, dengan meningkatnya natrium dan kalium tetapi Cl- rendah, diagnosis biasanya baik karena muntah atau termakan alkali. Bila urin relatif asam dan memiliki konsentrasi natrium, kalium dan Cl- yang rendah, kemungkinan yang paling mungkin adalah karena muntah, status post hiperkapnia, atau karena memakan diuretic. Bila natrium, kalium, atau klorida urin menurun, defisiensi Mg, sindroma Bartter’s atau Gitelman’s, atau ingesti diuretic baru-baru saja harus dipertimbangkan. Sindroma Bartter’s dibedakan dari Gitelman’s karena adanya hipomagnesemi dan hipokalsiuri pada pada Gitelman’s.
Pemberian alkali secara kronik untuk individu dengan fungsi ginjal normal, pernah menimbulkan alkalosis. Namun pada pasien dengan gangguan hemodinamik, alkalosis dapat terjadi karena kapasitas normal untuk mengekskresi HCO3- melebihi atau ada reabsorpsi HCO3- yang dipercepat. Beberapa pasien meliputi mereka yang menerima HCO3- oral atau i.v, kelebihan asetat (cairan hiperalimentasi parenteral), kelebihan sitrat (tranfusi), atau antasida ditambah cation-exchange resins (aluminium hidroksida dan sodium polystyrene sulfonate).
Metabolik alkalosis yang berhubungan dengan berkurangnya cairan ekstraseluler, deplesi kalium, dan hiperaldosteronisme hiperreninemik sekunder
Sumber dari gastrointestinal
Kehilangan H+ dari muntah atau aspirasi gastric mengakibatkan retensi bikarbonat. Kehilangan cairan dan NaCl melalui muntah atau pengisapan nasogastrik berakibat kurangnya volume cairan ekstraseluler serta meningkatnya sekresi renin dan aldosteron. Berkurangnya volume mengkibatkan berkurangnya GFR dan meningkatnya kapasitas tubulus renal untuk mereabsorpsi bikarbonat. Selama muntah aktif terdapat penambahan bikarbonat ke plasma untuk ditukar dengan ion klorida dan bikarbonat plasma melebihi kapasitas reabsorpsi tubulus proksimal. Kelebihan NaHCO3 mencapai tubulus distal dimana sekresinya dipercepat oleh aldosteron dan pengangkutan anion yang direabsorpsi sedikit, bikarbonat . Karena berkurangnya volume cairan ekstraseluler dan hipokloremi, Cl- dipertahankan oleh ginjal. Koreksi cairan ekstraseluler yang berkurang dengan NaCl dan koreksi defisit K+ memperbaiki kelainan asam-basa.
Sumber dari renal
Diuretik obat-obat yang dapat menginduksi kloruresis, seperti tiazid dan diuretic loop (furosemid, bumetamid, torsemid, dan asam etakrinat), mengurangi cairan ekstraseluler secara akut tanpa merubah bikarbonat total. Bikarbonat serum meningkat. Pemberian diuretic kronik cenderung kearah terjadinya alkalosis dengan menambah pengangkutan garam distal, sehingga sekresi kalium dan hydrogen distimulasi. Alkalosis dipertahankan dengan persistensi volume ekstraseluler yang berkurang, hiperaldosteronism sekunder, defisiensi kalium, dan efek langsung diuretic (selama pemberian diuretic dilanjutkan). Perbaikan alkalosis dicapai dengan pemberian saline isotonic untuk memperbaiki defisit cairan ekstraseluler.
Sindroma Bartter’s dan Gitelman’s
Anion yang tidak dapat direabsorpsi dan defisiensi magnesium pemberian anion yang tidak direabsorpsi dalam jumlah besar seperti: penicillin atau karbenicilin dapat memacu asidifikasi distal dan sekresi kalium dengan meningkatkan perbedaan potensial transepitelial (lumen negatif). Defisiensi magnesium mengakibatkan alkalosis hipokalemi dengan memacu asidifikasi distal melalui stimulasi renin dan sekresi aldosteron.
Deplesi kalium deplesi kalium kronik dapat menyebabkan alkalosis metabolic dengan meningkatkan ekskresi asam melalui urin. Produksi dan absorpsi ammonium dipacu dan reabsorpsi bikarbonat distimulasi. Defisiensi kalium kronik merangsang renal H+, K+, ATP-ase untuk meningkatkan absorpsi kalium dengan mengorbankan sekresi H+ yang meningkat. Alkalosis yang berhubungan dengan deplesi kalium kronik resisten untuk pemberian garam tetapi perbaikan kalium akan memperbaiki alkalosis.
Sesudah terapi asidosis laktat atau ketoasidosis ketika stimulus yang mendasari terbentuknya asam laktat atau asam keto dihilangkan secara cepat, baik dengan memperbaiki insufisiensi sirkulasi atau dengan terapi insulin, laktat atau keton dimetabolisme untuk menghasilkan jumlah ekivalen bikarbonat. Sumber lain bikarbonat baru ditambahkan pada jumlah asalnya dari metabolisme anion organic untuk menghasilkan kejenuhan bikarbonat. Beberapa sumber meliputi: (1) bikarbonat baru yang ditambahkan kedalam darah oleh ginjal sebagai hasil ekskresi asam selama periode asidosis, (2) terapi alkali selama fase pengobatan asidosis. Berkurangnya cairan ekstraseluler yang diinduksi asidosis dan defisiensi kalium bekerja untuk mempertahankan alkalosis.
Post hiperkapnia retensi CO2 yang memanjang dengan asidosis respiratorik kronik memacu absorpsi bikarbonat ginjal dan pembentukan bikarbonat baru (meningkatnya ekskresi asam). Bila PaCO2 kembali ke normal, alkalosis metabolic dihasilkan dari meningkatnya HCO3 persisten. Alkalosis timbul bila meningkatnya PaCO2 tiba-tiba kembali ke normal dengan perubahan ventilasi mekanik. Pengurangan cairan ekstrasel yang berhubungan tidak diikuti perbaikan secara sempurna dari alkalosis dengan koreksi PaCO2 saja, dan alkalosis menetap sampai diberikan suplementasi Cl-.
Alkalosis metabolic yang berhubungan dengan ekspansi cairan ekstraseluler, hipertensi, dan hiperaldosteronisme. Pemberian mineralokortikoid atau produksi berlebih (aldosteronisme primer pada sindroma Cushing’s dan defek enzim korteks adrenal) meningkatkan ekskresi asam dan dapat mengakibatkan alkalosis metabolic yang diperburuk dengan defisiensi kalium. Ekspansi cairan ekstraseluler dari retensi garam menyebabkan hipertensi dan reduksi GFR dan atau peningkatan asidifikasi tubulus diinduksi oleh aldosteron dan defisiensi vitamin K. Kaliuresis menetap dan menyebabkan deplesi kalium berlanjut dengan polidipsia, ke tidakmampuan untuk memekatkan urin, dan poliuria. Meningkatnya aldosteron dapat sebagai akibat dari overproduksi adrenal primer otonom atau pelepasan aldosteron sekunder karena overproduksi renin. Kedua situasi tersebut, umpan balik normal cairan ekstraseluler pada produksi aldosteron terganggu, dan hipertensi dari retensi volume dapat timbul.
Sindroma Liddle’s dapat berasal dari meningkatnya aktifitas saluran Na+ collecting duct dan jarang berupa kelainan bawaan yang berhubungan dengan hipertensi karena ekspansi volume yang bermanifestasi sebagai alkalosis hipokalemi dan kadar aldosteron normal.
Gejala Metabolik alkalosis, fungsi sistim saraf pusat dan perifer berubah menyerupai keadaan hipokalsemi; gejala meliputi konfusi mental, obtundasi, dan predisposisi untuk kejang, parestesi, kram otot, tetani, aritmia, dan hipoksemia pada COPD. Abnormalitas elektrolit yang berhubungan meliputi hipokalemi dan hipofosfatemi.
Terapi Pertama-tam memperbaiki stimulus yang mendasari produksi bikarbonat. Jika aldosteronisme primer ada, koreksi dari penyebab dasarnya akan memperbaiki alkalosis. Kehilangan H+ dari lambung dan ginjal dapat dikurangi dengan penggunaan H2 –reseptor blocker, H+,K+-ATP ase inhibitor atau penghentian diuretic. Aspek terapi kedua ialah menghilangkan factor yang mempertahankan reabsorpsi bikarbonat seperti berkurangnya cairan ekstraseluler atau defisiensi K+. Walaupun kurangnya K+ harus diperbaiki, terapi NaCl biasanya cukup untuk memperbaiki alkalosis bila cairan ekstraseluler berkurang, sebagaimana di indikasikan pada rendahnya kadar klorida urin.
Bila kondisi yang berhubungan menghalangi pemberian infus saline, kehilangan bikarbonat renal dapat dipercepat dengan pemberian asetazolamid, inhibitor karbonik anhidrase, yang biasanya efektif pada penderita dengan fungsi renal yang adekwat tetapi dapat memperburuk kehilangan kalium. HCl yang diencerkan (0,1 N) juga efektif namun dapat menyebabkan hemolisis. Sebagai alternatif, dapat diberikan NH4 Cl oral namun harus dapat dihindari pada penyakit hati. Hemodialisis menggunakan dialisat rendah bikarbonat dan tinggi klorida dapat efektif bila fungsi ginjal terganggu.
Asidosis respiratorik
Asidosis respiratorik dapat terjadi pada penyakit paru berat, kelelahan otot respirasi atau abnormalitas kontrol ventilasi, dan diketahui dari meningkatnya PaCO2 dan turunnya pH. Pada asidosis respiratorik akut, terdapat kompensasi segera berupa peningkatan bikarbonat (melalui mekanisme buffer seluler). Gambaran klinis bervariasi menurut beratnya derajat dan lamanya asidosis respiratorik, penyakit dasar, dan apakah ada hipoksemia juga. Meningkatnya PaCO2 dengan cepat dapat menyebabkan ansietas, dispnu, konvulsi, psikosis, dan halusinasi, serta dapat berlanjut kekoma Derajat yang lebih ringan dari disfungsi pada hiperkapni kronik meliputi gangguan tidur, hilangnya ingatan, mengantuk sepanjang hari, perubahan kepribadian, gangguan koordinasi, dan gangguan motorik, seperti tremor, mioklonik jerk’s, dan asteriksis. Sakit kepala dan tanda lainnya yang menyerupai tingginya tekanan intrakranial, seperti papil oedema, refleks abnormal, dan kelemahan otot fokal, disebabkan karena vasokonstriksi sekunder akibat hilangnya efek vasodilator CO2.
Depresi pusat napas oleh obat-obatan, injuri atau penyakit dapat menyebabkan asidosis respiratorik. Keadaan ini dapat terjadi secara akut pada pemberian anestesi umum, sedativa, trauma kepala, atau terjadi secara kronik dengan pemberian sedativa, alcohol, tumor intrakranial, dan sindroma kelainan bernafas sewaktu tidur, meliputi alveolar primer, dan sindroma obesitas–hipoventilasi. Abnormalitas atau penyakit pada neuromotorik, neuromuscular junction dan otot skelet dapat menyebabkan hipoventilasi melalui kelemahan pada otot pernafasan. Ventilasi mekanik yang tidak diatur dan tidak diawasi, dapat mengakibatkan asidosis respiratorik, khususnya bila produksi CO2 tiba-tiba naik (karena demam, agitasi, sepsis, atau overfeeding) atau ventilasi alveolar berkurang karena memburuknya fungsi paru. Tingginya tingkat PEEP pada keadaan kardiak output berkurang dapat menyebabkan hiperkapnia sebagai akibat meningkatnya alveolar dead space. Hiperkapnia pemisive digunakan dengan frekuensi yang bertambah karena studi menunjukkan angka kematian yang lebih rendah dibandingkan dengan ventilasi mekanik konvensional, khususnya dengan gangguan SSP berat atau penyakit jantung. Walaupun manfaat hiperkapnia permissive dapat dikurangi dengan perbaikan asidemia, tampaknya mempertahankan pH pada kisaran 7,2-7,3 dengan pemberian NaHCO3 .
Hiperkapnia akut yang mengikuti sumbatan jalan nafas atas mendadak atau brokospasme menyeluruh pada asma berat, anafilaksis, luka bakar inhalasi, atau toksin injuri. Hiperkapnia kronik dan asidosis respiratorik terjadi pada COPD tahap akhir. Gangguan restriktif yang melibatkan dinding dada dan paru-paru dapat menyebabkan asidosis respiratorik Karena tingginya metabolisme respirasi yang menyebabkan kelelahan otot pernafasan.Stadium lanjut dari gangguan restriktif intra/ekstra pulmoner juga tampak sebagai asidosis respiratorik kronik.
Diagnosis asidosis respiratorik memerlukan pengukuran PaCO2 dan pH arteri. Anamnesa dan pemeriksaan fisik sering dapat mengetahui penyebabnya. Studi fungsi paru termasuk spirometri, kapasitas difusi CO, volume paru, PaCO2 arteri dan saturasi O2, biasanya memungkinkan untuk menentukan apakah asidosis respiratorik sekunder terhadap penyakit paru. Pencarian sebab nonpulmoner harus meliputi anamnesis obat, pengukuran hematokrit, dan penilaian jalan nafas atas, dinding dada, dan fungsi neuromuskuler.
Terapi tergantung dari derajat beratnya dan kecepatan onsetnya. Asidosis respiratorik akut dapat mengancam jiwa dan pencarian penyebab dasarnya harus diusahakan bersamaan dengan pemulihan ventilasi alveolar yang adekwat. Dapat diperlukan intubasi trakeal dan ventilasi mekanik (assisted). Pemberian oksigen harus dititrasi hati-hati pada pasien dengan COPD berat dan retensi CO2 kronik yang masih bernafas spontan. Bila oksigen digunakan secara tidak benar pasien malah jatuh kedalam asidosis respiratorik lebih lanjut. Koreksi hiperkapnia agresif dan cepat harus dihindari Karena berkurangnya PaCO2 dapat menyebabkan komplikasi sama dengan alkalosis respiratorik akut (aritmia jantung, berkurangnya perfusi otak, dan kejang). PaCO2 harus diturunkan bertahap pada asidosis respiratorik kronik, dengan tujuan untuk mengembalikan PaCO2 pada baseline nya dan untuk menyediakan Cl- dan K+ yang cukup untuk mempercepat ekskresi bikarbonat renal.
Asidosis respiratorik kronik biasanya sulit dikoreksi tetapi pemeriksaan bertujuan untuk meningkatkan fungsi paru, dapat menolong penderita dan mencegah perburukan lebih lanjut.
Alkalosis respiratorik
Hiperventilasi alveolar menurunkan PaCO2 dan meningkatkan rasio bikarbonat/PaCO2, sehingga menaikkan pH. Buffer seluler nonbikarbonat berespon dari pemberian bikarbonat. Hipokapnia trjadi ketika stimulus ventilasi yang cukup kuat menyebabkan output CO2 diparu melebihi produksi metaboliknya oleh jaringan. pH plasma dan bikarbonat bervariasi sebanding dengan PaCO2 berkisar 40-15 mmHg. Hipokapnia yang bertahan lebih dari 2-6 jam selanjutnya dikompensasi oleh penurunan ammonium renal dan ekskresi asam yang dapat dititrasi serta pengurangan reabsorpsi bikarbonat yang telah difiltrasi. Adaptasi penuh renal terhadap alkalosis respiratorik dapat memerlukan waktu beberapa hari dan membutuhkan status volume normal serta fungsi renal normal. Ginjal tampaknya langsung berespon terhadap turunnya PaCO2 dibanding terhadap alkalosis per se.
Efek alkalosis respiratorik bervariasi sesuai dengan berat dan lamanya tetapi terutama dengan penyakit dasarnya. Berkurangnya aliran darah otak sebagai konsekwensi penurunan PaCO2 yang cepat dapat menyebabkan dizziness, konvulsi mental dan kejang, bahkan pada keadaan tanpa hipoksemia. Efek kardiovaskular pada hipokapnia akut minimal pada orang yang sadar; tetapi pada orang yang dianestesi atau yang mendapat ventilasi mekanik, kardiak output dan tensi dapat turun karena efek depresan, anestesi, dan ventilasi tekanana positif pada denyut jantung, resistensi sistemik, dan venous return. Aritmia jantung dapat terjadi pada pasien penyakit jantung sebagai akibat perubahan unloading oksigen darah dari pergeseran kekiri kurva disosiasi Hb-oksigen (efek Bohr). Alkalosis respiratorik akut menyebabkan pertukaran intraseluler dari Na+, K+, dan PO4- dan mengurangi kalsium bebas dengan meningkatkan fraksi ikatan protein. Hipokalemia yang diinduksi hipokapnia biasanya sedikit terjadi. Alkalosis respiratorik kronik adalah gangguan asam-basa yang paling sering terjadi pada penderita sakit kritis dan bila berat prognosisnya buruk. Banyak kelainan kardiopulmoner yang manifestasinya alkalosis respiratorik pada tahap awal atau intermediatenya dan penemuan normokapnia dan hipoksemia pada penderita dengan hiperventilasi dapat mempercepat gagal nafas dan memerlukan penilaian segera bila penderita menjadi lelah. Alkalosis respiratorik sering terjadi pada ventilasi mekanik.
Sindroma hiperventilasi dapat melumpuhkan. Parestesia, baal sekitar mulut, dinding dada terasa sesak atau nyeri, dizziness, ketidakmampuan untuk bernafas dengan baik, yang jarang, tetani, dapat menimbulkan gangguan yang cukup menekan terus menerus. Analisa gas darah menunjukkan alkalosis respiratorik akut atau kronik, sering dengan hipokapnia pada kisaran 15-30 mmHg dan tanpa hipoksemia. Penyakit atau injury SSP dapat menimbulkan beberapa pola hiperventilasi dan PaCO2 bertahan pada level 20-30 mmHg. Hipertiroidisme, intake tinggi kalori dan latihan meningkatkan BMR tetapi ventilasi biasanya meningkat sebanding sehingga gas darah arteri tidak berubah dan alkalosis respiratorik tidak terjadi. Salisilat merupakan obat yang paling sering menginduksi alkalosis respiratorik sebagai akibat perangsangan langsung pada kemoreseptor medul. Metil xantine, teofilin, dan aminofilin merangsang ventilasi dan meningkatkan respon ventilasi terhadap CO2. Progesteron meningkatkan ventilasi dan menurunkan PaCO2 sekitar 5-10 mmHg. Alkalosis respiratorik kronik adalah gambaran umum pada kehamilan. Alkalosis respiratorik juga menonjol pada gagal hati dan beratnya berhubungan dengan derajat insufisiensi hati. Alkalosis respiratorik juga sering ditemukan pada awal septikemia gram negatif, sebelum timbul demam, hipoksemia, atau hipotensi. Diagnosis alkalosis respiratorik tergantung dari pengukuran pH arteri dan PaCO2. Kalium plasma biasanya berkurang dan klor meningkat. Pada fase akut alkalosis respiratorik tidak disertai dengan meningkatnya ekskresi bikarbonat renal, tetapi dalam beberapa jam ekskresi asam berkurang.
Bila diagnosis alkalosis respiratorik ditegakkan penyebabnya harus dicari. Diagnosis sindrom hiperventilasi ditegakkan dengan eksklusi. Pada kasus sulit, penting untuk menyingkirkan keadaan-keadaan lain seperti emboli paru, PJK, dan hipertiroidism.
Terapi Pengelolaan alkalosis respiratorik ditujukan pada penyakit dasarnya, bila terjadi komplikasi dapat digunakan ventilator, perubahan pada dead space, volume tidal, dan frekwensi dapat mengurangi hipokapnia. Penderita dengan sindrom hiperventilasi membaik dengan reassurance, rebreathing dari kantong keertas selama timbulnya gejala, dan pendekatan psikologis. Antidepresan dan sedatif tidak direkomendasikan. Beta blocker dapat memperbaiki status hiperadrenergik.
0 Response to "Modul HOMEOSTASIS NORMAL ASAM-BASA"
Post a Comment