-->

Modul DISPNEA



A. DISPNEA

I. Pendahuluan
1.      Dispnea (sesak nafas) sebagai sebuah keluhan utama.
Dispnea dihubungkan dengan berbagai penyakit pada jantung, paru-paru, dinding dada, maupun otot-otot pernapasan. Kondisi psikoneurotik, yang biasanya berhubungan dengan ketegangan atau kecemasan, juga dapat menyebabkan dispnea. Dalam sebuah literatur bahkan disebutkan bahwa dispnea psikoneurotik ini merupakan penyebab dispnea yang paling sering terjadi, ditemukan pada sekitar 10% pasien yang datang pada spesialis penyakit dalam.
2.      Pernafasan diatur mekanisme sentral dan perifer.
Tujuan respirasi adalah untuk memasok oksigen ke dalam darah dan mengeluarkan karbondioksida dari dalam darah. Pertukaran ini berlangsung dalam alveoli paru dan gerakan pernapasan yang berirama dipertahankan oleh pusat respirasi dalam mesensefalon (midbrain). Mekanisme sentral dan perifer mengatur ventilasi agar sesuai dengan peningkatan kebutuhan metabolisme selama aktivitas fisik maupun kondisi di mana terjadi kebutuhan metabolisme yang berlebihan, seperti pada saat cemas dan ketakutan.
3.      Batasan dispnea.
§     Tidak semua kegiatan bernafas yang sulit disebut dispnea.
Orang normal yang sedang beristirahat tidak menyadari kegiatan bernafas. Setelah aktivitas ringan atau sedang, seseorang mungkin merasakan kegiatan bernafas ini, namun tanpa disertai perasaan tidak nyaman. Perasaan yang kurang nyaman dapat dirasakan setelah aktivitas fisik yang melelahkan, namun sensasi ini juga bukanlah dispnea, karena diyakini terjadi hanya sementara dan sesuai dengan kadar aktivitas fisik yang dilakukan.
§     Definisi dispnea sangat berhubungan dengan perasaan yang tidak nyaman.
Terdapat suatu keadaan di mana bernafas tampak sukar tapi tidak terjadi dispnea. Contohnya, hiperventilasi yang menyertai asidosis metabolik jarang disertai dispnea. Di lain pihak, penderita dengan pola pernafasan yang tampak normal mungkin saja mengeluh dispnea nafas. Oleh karena itu, sebagai gejala kardinal dari penyakit sistem kardiopulmonal, dispnea didefinisikan sebagai kesadaran akan pernafasan yang tidak nyaman dan abnormal.
§     Peranan anamnesis dalam memastikan dispnea.
Dispnea tidaklah menyakitkan. Namun penderita mengalami berbagai sensasi tidak menyenangkan yang berhubungan dengan pernafasan, dan menggambarkannya dalam bermacam-macam ekspresi verbal. Karena itu, anamnesis yang teliti sangat penting untuk memastikan apakah penggambaran adalah benar-benar suatu dispnea. Jika dispnea telah dipastikan, selanjutnya harus ditentukan pada keadaan apa dispnea terjadi dan gejala apa saja yang menyertainya.
4.      Onset dispnea yang akut dan gradual.
Diagnosis banding dispnea yang akut berbeda dengan dispnea yang subakut atau kronis. Penyebab dispnea yang akut meliputi bronkospasme, emboli paru, pneumotoraks, edema paru akut, dan keadaan ansietas. Sebaliknya, pada sebagian kasus gagal jantung yang kronis, dispnea berkembang lambat secara progresif dalam beberapa minggu atau bulan. Namun perlu diingat pula bahwa dispnea yang kronis dapat pula bermanifestasi dalam bentuk eksaserbasi yang akut.

II. PENENTUAN berat dan kualitas DISPNEA
1.      Derajat dispnea dipengaruhi oleh aktivitas dan keadaan fisik umum penderita.
§     Berat aktivitas sehari-hari masing-masing individu.
Derajat dispnea nafas ditentukan berdasarkan beratnya aktivitas fisik yang dapat menimbulkan dispnea. Dispnea pada pelari terlatih saat berlari 2 km menunjukkan gangguan yang jauh lebih serius dibanding pada orang dengan aktivitas yang ringan.
§     Variasi antar individu.
Variasi antar individu juga harus dipertimbangkan. Beberapa penderita dengan penyakit berat mungkin hanya mengeluh dispnea ringan. Sebaliknya penderita lain dengan penyakit ringan dapat mengalami dispnea yang lebih berat. Pada umumnya, meskipun terdapat variasi individual, terdapat korelasi yang yang dapat diterangkan antara beratnya dispnea dan besarnya gangguan fungsi paru atau jantung yang menyebabkan dispnea.
§     Pengaruh penyakit penyerta lain.
Sebagian penderita dengan kelainan di paru-paru atau jantung jarang melakukan aktivitas fisik yang berat akibat penyakit lain (misalnya osteoartritis berat pada panggul atau lutut), sehingga tidak pernah merasakan dispnea meskipun terdapat gangguan fungsi paru atau jantung yang serius.
§     Data-data yang harus dipahami.
Untuk itu agar diperoleh pengertian yang baik tentang beratnya dipsnea, penting untuk memahami data mengenai keadaan fisik umum, aktivitas harian, dan riwayat pekerjaan dari penderita dengan keluhan dispnea nafas
2.      Beberapa pola dispnea nafas yang khusus.
Beberapa pola dispnea tidak berhubungan langsung dengan aktivitas fisik. Perubahan posisi dalam hubungannya dengan ventilasi dan perfusi diajukan untuk menjelaskan fenomena ini.
§     Sudden unexpected dyspnea. Episode dispnea yang timbul tiba-tiba dan tidak terduga pada saat istirahat dapat dihubungkan dengan emboli paru, pneumotoraks spontan, hiperkapnia sekunder akibat menahan nafas, atau kecemasan.
§     Paroxysmal nocturnal dyspnea. Episode sesak yang memberat di malam hari merupakan gejala khas dari gagal jantung kiri.
§     Ortopnea. Dispnea yang terjadi pada posisi telentang, atau ortopnea, dianggap sebagai karakteristik utama dari gagal jantung kongestif. Ortopnea juga dapat terjadi pada beberapa penderita asma dan obstruksi saluran nafas kronis, dan sering ditemukan pada penyakit paralisis diafragma bilateral (suatu penyakit yang jarang terjadi).
§     Trepopnea dan platipnea. Trepopnea menggambarkan keadaan yang tidak lazim, di mana dispnea hanya timbul pada posisi lateral dekubitus (paling sering terjadi pada penderita penyakit jantung). Platipnea adalah dispnea yang hanya muncul pada posisi tegak.
III. MEKANISME TERJADINYA DISPNEA
1.      Dispnea terjadi apabila kerja pernafasan berlebihan.
Peningkatan kerja ini dibutuhkan otot pernafasan untuk menghasilkan volume yang diperlukan :
§     jika kelenturan (compliance) dinding dada atau paru berkurang, atau
§     jika resistensi terhadap aliran udara meningkat.

2.      Peningkatan kerja nafas juga timbul jika ventilasi melebihi tingkat aktivitas.
Walaupun seseorang lebih cenderung mengalami dispnea ketika kerja pernafasan meningkat, teori di atas tidak dapat menerangkan perbedaan antara :
§     Pernafasan dalam dengan beban mekanik normal, dengan
§     Pernafasan normal dengan beban mekanik yang meningkat.
Kerja yang dilakukan keduanya mungkin sama, namun jenis yang kedua (pernafasan normal dengan beban meningkat) akan disertai dengan perasaan tidak nyaman (dispnea). Hal ini terjadi karena pusat pernafasan menganggap ventilasi yang terjadi melebihi tingkat aktivitas yang sedang dilakukan. Beban pada proses pernafasan, seperti tahanan di mulut, akan meningkatkan output dari pusat pernafasan yang tidak sebanding dengan peningkatan kerja pernafasan. Hipotesisnya : bila kerja otot-otot pernafasan mendekati sebagian fraksi maksimalnya, maka dispneu terjadi akibat transduksi mekanis terhadap stimulus saraf.
3.      Hiperaktivasi pusat pernafasan pada semua keadaan dipsnea.
Pada semua keadaan, dispnea ditandai dengan aktivasi abnormal atau berlebihan dari pusat pernafasan pada batang otak. Aktivasi ini berasal dari stimulus yang ditransmisikan dari atau melalui struktur dan jaras yang bervariasi, meliputi
(1) reseptor intratorakal melalui vagus;
(2) saraf somatik aferent, terutama dari otot-otot pernafasan dan dinding dada, selain itu dari
      otot skelet lainnya dan sendi-sendi;
(3) Kemoreseptor dalam otak, aorta, dan badan karotis, serta tempat lain dalam sirkulasi;
(4) pusat yang lebih tinggi (kortikal); dan mungkin pula
(5) serabut aferen n. frenikus.

4.      Dispnea terjadi melalui berbagai mekanisme pada berbagai derajat.
Pada semua kemungkinan, beberapa mekanisme yang berbeda bekerja dengan derajat berbeda dalam berbagai situasi klinis di mana terjadi dispnea. Pada beberapa keadaan, dispnea ditimbulkan oleh stimulasi reseptor-reseptor di saluran nafas atas. Dalam keadaan lain sensasi dispnea dibangkitkan oleh reseptor-reseptor di paru-paru, saluran nafas, otot pernafasan, dinding dada, atau kombinasi dari struktur-struktur tersebut. Mekanisme penyebab dispnea bervariasi pada berbagai kondisi seperti digambarkan pada tabel di bawah ini :
Tabel 1. Kondisi terjadinya Dispnea dan Mekanismenya

Kondisi
Mekanisme
Asma
Meningkatnya sensasi upaya bernafas
Stimulasi reseptor terhadap iritan di saluran nafas
Penyakit neuromuskuler
Meningkatnya sensasi upaya bernafas
PPOK
Meningkatnya sensasi upaya bernafas
Hipoksia
Hiperkapnia
Ventilasi mekanis
Aferen yang tidak sesuai
Berbagai faktor yang menyertai kondisi yang mendasari
Emboli paru
Stimulasi reseptor terhadap tekanan di pembuluh paru atau dapat saja di atrium kanan
(Diterjemahkan dari Ingram dan Braunwald, 2001)

IV. DIAGNOSIS BANDING
4.1 PULMONAL
4.1.1 Penyakit Obstruksi Saluran Pernafasan
          Obstruksi aliran udara dapat terjadi di mana saja, mulai saluran nafas ekstratorakal sampai saluran nafas kecil di perifer paru-paru.
1.      Obstruksi ekstratorakal.
§     Obstruksi saluran nafas atas akut merupakan keadaan gawat darurat dalam kedokteran.
§     Obstruksi saluran nafas besar di ekstratorakal dapat terjadi akut, seperti pada aspirasi makanan atau benda asing, atau pada angioedema glotis. Adanya riwayat alergi disertai urtika yang tersebar memperbesar kemungkinan terjadinya edema glotis.
§     Jenis obstruksi yang lebih kronis dapat ditemukan pada tumor atau stenosis fibrotik yang terjadi setelah tindakan trakeostomi atau intubasi endotrakeal yang lama.
§     Baik pada keadaan akut maupun kronik, gejala utamanya adalah dispnea, dengan tanda khas berupa stridor dan retraksi fossa supraklavikuler pada saat inspirasi.
2.      Obstruksi intratorakal.
§     Obstruksi saluran nafas intratorakal dapat bersifat akut dan sementara, atau kronik yang makin memberat selama infeksi saluran pernafasan.
§     Obstruksi akut dan sementara dengan wheezing merupakan ciri khas asma.
§     Batuk berdahak kronis merupakan gejala khas pada bronkitis kronis dan bronkiektasis.
Ø     Tanda yang paling sering ditemukan adalah perpanjangan masa ekspirasi dan ronki kasar, yang pada bronkitis kronis terjadi di seluruh lapang paru, sedangkan pada bronkiektasis terlokalisir.
Ø     Infeksi yang menyelangi akan memperburuk batuk, meningkatkan produksi sputum yang purulen, dan memperberat dispnea. Selama episode tersebut, penderita dapat mengeluh dispnea paroksismal di malam hari dengan wheezing, yang berkurang dengan batuk dan pengeluaran sputum.
Ø     Meskipun pada kenyataannya, keterbatasan aliran udara ekspirasi yang berat dan hiperinflasi paru merupakan karakteristik penyakit ini, penderita lebih sering merasakan ketidakmampuan menarik nafas dalam daripada kesulitan mengeluarkan nafas.
§     Pada penderita dengan emfisema sebagai kelainan utama, gejala khas yang terjadi adalah dispnea menahun pada saat aktivitas, yang kemudian berkembang menjadi dispnea saat istirahat. Walaupun didefinisikan sebagai penyakit parenkim paru, emfisema selalu disertai dengan obstruksi saluran nafas.
4.1.2 Penyakit Parenkim Paru Difus
Kategori ini meliputi sejumlah besar penyakit, mulai dari pneumonia akut sampai kelainan kronis seperti sarkoidosis, dan berbagai jenis pneumokoniosis. Riwayat penyakit, hasil pemeriksaan fisik, dan hasil radiografi yang abnormal seringkali memberikan petunjuk untuk menegakkan diagnosis. Penderita seringkali tampak takipnea dengan PCO2 dan PO2 arterial di bawah normal. Aktivitas fisik sering makin menurunkan PO2 arterial. Volume paru-paru berkurang dan paru-paru menjadi lebih kaku, sehingga compliance menurun di bawah normal.
4.1.3 Penyakit Oklusi Pembuluh Paru-paru
Episode berulang dispnea ketika istirahat sering ditemukan pada emboli paru rekuren. Terdapatnya sumber emboli seperti flebitis pada ekstremitas bawah atau panggul akan membantu mengarahkan diagnosis. Hasil analisis gas darah arteri hampir selalu abnormal, tapi volume paru umumnya normal atau hanya sedikit abnormal.
4.1.4 Penyakit Dinding Dada atau Otot-otot Pernafasan
1.      Deformitas dinding dada.
Pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya penyakit dinding dada seperti kifoskoliosis, pektus ekskavatum, atau ankylosing spondylitis. Meskipun ketiga deformitas ini dapat disertai dispnea, hanya kiposkoliosis berat yang selalu mengganggu ventilasi dengan intensitas yang cukup untuk akhirnya menjadi cor pulmonale kronis dan kegagalan pernafasan.
2.      Manifestasi utama di sistem lain.
Baik kelemahan maupun paralisis otot-otot pernafasan memang dapat menyebabkan dispnea dan kegagalan pernafasan. Namun pada gangguan neurologis atau muskuler, seringkali gejala dan tanda bermanifestasi lebih jelas di sistem lain (selain sistem pernafasan).
4.2 KARDIAL
4.2.1 Patofisiologi
1.      Pada penderita penyakit jantung, dispnea saat aktivitas paling sering timbul sebagai :
§     konsekuensi dari peningkatan tekanan kapiler paru,
§     yang selanjutnya dapat menyebabkan disfungsi ventrikel kiri,
§     penurunan compliance ventrikel kiri, dan
§     stenosis mitral.
2.      Kenaikan tekanan hidrostatik dalam pembuluh darah (vascular bed) paru cenderung untuk :
§     mengacaukan kesetimbangan Starling,
§     akibatnya terjadi transudasi cairan ke ruang interstitial,
§     penurunan compliance paru,
§     dan stimulasi reseptor J (juxtacapillary) dalam ruang interstitial alveoli.
3.      Hipertensi vena pulmoner yang lama akan :
§     menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah kecil paru-paru
§     serta peningkatan jumlah sel perivaskuler dan jaringan fibrosa
§     sehingga semakin menurunkan compliance.
Ortopnea merupakan hasil dari perubahan gaya gravitasi yang terjadi pada posisi telentang. Hal ini meningkatkan tekanan vena pulmoner dan kapiler, yang akhirnya meningkatkan volume penutupan paru-paru (pulmonary closing volume) dan menurunkan kapasitas vital.
4.      Kompetisi untuk mendapatkan ruang antara pembuluh-pembuluh darah, saluran nafas, dan cairan yang meningkat dalam ruang interstitial
§     akan mengganggu lumen saluran nafas kecil,
§     sehingga meningkatkan resistensi saluran nafas.
5.      Kondisi yang memperberat dispnea.
Compliance yang menurun dan resistensi saluran nafas yang meningkat akan memperberat kerja pernafasan. Gagal jantung kongestif lanjut biasanya meliputi elevasi tekanan vena pulmonal dan sistemik. Dapat juga terjadi hidrotoraks, yang akan semakin mengganggu fungsi paru dan memperhebat dispnea.
4.2.2 Dispnea Paroksismal Nokturnal (Paroxysmal nocturnal dyspnea, PND)
1.      Patofisiologi.
Keadaan yang dikenal juga sebagai asma kardiale ini ditandai dengan serangan sesak nafas yang umumnya terjadi di malam hari dan membangunkan penderita dari tidurnya. Serangan ini dicetuskan oleh stimulus yang memperberat bendungan paru yang telah ada. Volume darah total meningkat di malam hari akibat reabsorpsi edema dari daerah dependen (yang pada posisi tegak mengakumulasi banyak cairan) selama posisi berbaring. Sebenarnya saat tidur, penderita dapat mentolerir bendungan paru yang relatif berat dan hanya terbangun (dengan sesak dan wheezing) jika telah terjadi edema paru dan bronkospasme yang nyata.
2.      Diagnosis banding.
Dua bentuk lain PND harus dibedakan dari PND yang berhubungan dengan gagal jantung.
§     Bronkitis kronis ditandai dengan hipersekresi mukus. Setelah tidur beberapa jam, sekret tersebut terakumulasi sehingga menyebabkan dispnea dan wheezing yang dapat berkurang dengan batuk dan pengeluaran sputum.
§     Pada penderita asma, derajat obstruksi saluran nafas terjadi dalam variasi sirkadian. Obstruksi makin berat antara pukul 2 sampai 4 pagi dan dapat membangunkan penderita dengan sensasi seperti tercekik, dispnea yang hebat, dan wheezing. Walaupun komponen utama pada asma nokturnal adalah inflamasi, bronkodilator perinhalasi biasanya dapat mengurang gejala-gejala dengan cepat.
3.      Diagnosis.
Penegakan diagnosis dispnea kardiale tergantung dari pengenalan penyakit jantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, yang ditunjang dengan berbagai pemeriksaan noninvasif.
§     Mungkin terdapat riwayat infark miokard, bunyi jantung ke-3 dan ke-4, tanda pembesaran ventrikel kiri, distensi vena jugular di leher, atau edema perifer.
§     Pada foto toraks, sering ditemukan tanda-tanda gagal jantung berupa edema interstitial, redistribusi pembuluh darah pulmoner, dan akumulasi cairan di septum dan kavitas pleura.
§     Ekokardiografi terutama berguna untuk menegakkan diagnosis penyakit jantung struktural, yang dapat menyebabkan dispnea, terutama untuk memperoleh petunjuk adanya kelainan jantung sebagai faktor etiologi dari dispnea yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan.
4.      Perbedaan dispnea kardial dan pulmonal.
§     Anamnesis.
Pada sebagian besar penderita dengan dispnea, terdapat bukti klinis yang nyata akan adanya penyakit jantung bersama-sama dengan penyakit paru. Penderita dengan penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) juga dapat terbangun di malam hari dengan dispnea, namun hal ini biasanya berhubungan dengan produksi sputum. Dispnea biasanya berkurang dengan pengeluaran sputum. Kesulitan membedakan keduanya semakin bertambah jika penyakit yang terjadi telah meliputi kedua sistem organ tersebut.
§     Pemeriksaan penunjang.
Ø     Pemeriksaan fungsi paru dapat membantu menentukan apakah dispnea berasal dari penyakit jantung, penyakit paru, abnormalitas dinding dada, atau kecemasan.
Ø     Ekokardiografi atau ventrikulografi dengan radionuklida juga dapat membantu. Fraksi ejeksi ventrikel kiri berkurang pada kegagalan ventrikel kiri, yang kanan dapat menurun pada saat istirahat atau meningkat selama aktivitas pada penderita penyakit paru berat, dan fraksi ejeksi ventrikel kiri dan kanan normal pada saat istirahat dan selama aktivitas pada dispnea yang berhubungan dengan kecemasan atau malingering.
Ø     Observasi yang cermat selama tes treadmill sering dapat mengidentifikasi dispnea akibat malingering atau kecemasan.
Ø      Tes latihan kardiopulmoner (cardiopulmonary exercise testing) juga sangat bermanfaat, di mana dilakukan penilaian kapasitas maksimal dalam melakukan aktivitas fungsional, sekaligus pemeriksaan EKG, tekanan darah, konsumsi oksigen, oksimetri, dan ventilasi.

Tabel 2 : Pola–pola Abnormal dalam Cardiopulmonary Exercise Testing
Keterbatasan pada fungsi kardiovaskular.
§       Denyut jantung > 85% dari prediksi maksimal
§       Ambang anaerobik yang rendah
§       Penurunan konsumsi oksigen maksimal
§       Tekanan darah drop dengan aktivitas fisik
§       Aritmia atau iskemia pada EKG
§       Tidak mampu mencapai prediksi ventilasi maksimal
§       Tidak memiliki desaturasi yang signifikan


Keterbatasan pada fungsi respirasi.
§       Mampu mencapai atau melampaui prediksi ventilasi maksimal
§       Desaturasi signifikan (<90%)
§       Dead space yang stabil atau meningkat terhadap rasio volume tidal
§       Adanya perkembangan ke arah atau telah terjadi bronkospasme dengan nilai FEV1 yang jatuh
§       Tidak mampu mencapai 85% dari prediksi denyut jantung maksimal
§       Tidak terdapat tanda iskemia pada EKG

(Diterjemahkan dari Ingram dan Braunwald, 2001)

4.3 NEUROSIS KECEMASAN
1.      Evaluasi dispnea sekunder ansietas.
Dispnea yang dialami oleh penderita neurosis kecemasan sulit untuk dievaluasi. Tanda-tanda dan gejala-gejala hiperventilasi akut atau kronik tidak dapat diandalkan untuk membedakannya dengan proses lain seperti emboli paru rekuren. Biasanya desahan nafas panjang berulang kali dengan pola pernafasan yang ireguler menunjukkan dispnea psikogenik.
2.      Astenia neurosirkulatori.
Sindroma hiperventilasi juga sering membingungkan, karena kadang disertai nyeri dada dan kelainan pada EKG, suatu kondisi yang sering diistilahkan sebagai astenia neurosirkulatori. Nyeri dada biasanya tajam pada beberapa lokasi, berlalu dengan cepat (hanya beberapa detik), dengan kelainan EKG yang paling sering tampak saat repolarisasi.
3.      Gangguan kecemasan pada penyakit jantung dan paru.
Penting untuk diingat pula bahwa kecemasan dan depresi yang menyertai penyakit jantung atau paru dapat memperberat gejala-gejala dispnea melampaui derajat yang seharusnya dari disfungsi organ tersebut.
Tabel 3. Proses yang Terjadi pada Berbagai Penyebab Dipsnea
PROBLEM
PROSES
Gagal jantung kiri
Peningkatan tekanan dalam Capillary bed dengan transudasi cairan ke ruang interstitial dan alveoli, penurunan compliance (peningkatan kekakuan ) paru-paru, dan peningkatan kerja pernafasan
Bronkitis kronis
Produksi mukus yang berlebihan dalam bronki, diikuti dengan obtruksi kronis saluran nafas. Bronkitis kronis dan emfisema sering muncul bersamaan. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat terjadi akibat salah satu atau keduanya.
Emfisema paru
Bronkus yang hiperresponsif berhubungan dengan proses inflamasi
Penyakit paru interstitial difus
Infiltrasi yang abnormal dan luas dari sel-sel, cairan, dan kolagen ke ruang interstitial di antara alveoli. Banyak penyebab
Pneumonia
Inflamasi parenkim paru, mulai dari bronkiolus sampai alveoli.
Pneumotoraks spontan
Bocornya udara ke rongga pleura melalui /akibat blebs pada pleura visceralis yang menyebabkan kolaps paru parsial atau komplit.
Emboli paru akut
Oklusi tiba-tiba seluruh atau sebagian percabangan arteri oleh bekuan darah yang biasanya berasal dari vena-vena dalam pada tungkai atau panggul.
Kecemasan dengan hiperventilasi
Bernafas berlebihan, dengan akibat alkalosis respiratorik dan penurunan drastis sebagian tekanan karbondioksida dalam darah.

(Dimodifikasi dari Bates, 1996)

0 Response to "Modul DISPNEA"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel