-->

(Fever of Unknown Origin)


FUO
(Fever of Unknown Origin)

DEFINISI DAN KLASIFIKASI


     Demam yang tidak diketahui sebabnya atau dikenal dengan fever of unknown origin (selanjutnya disebut FUO) didefinisikan oleh Petersdorf dan Beeson pada 1961 sebagai
1.    Temperatur > 38,3o C pada beberapa keadaan
2.    Lama demam > 3 minggu
3.    Tidak dapat didiagnosis pada pasien rawat inap yang telah diobservasi selama 1 minggu di rumah sakit.
     Definisi tersebut telah digunakan selama 30 tahun, namun Durrack dan Street kemudian mengajukan sistem klasifikasi FUO yang baru, yaitu :
1.    FUO klasik
2.    FUO nosokomial
3.    FUO neutropenik
4.    FUO pada infeksi HIV

FUO Klasik

     FUO klasik memiliki definisi yang hampir serupa dengan FUO awal, perbedaannya terletak pada klasifikasi ke 3, mengenai observasi pasien rawat inap selama 1 minggu di rumah sakit. Pada definisi yang baru hal tersebut diperluas menjadi 3 kali kunjungan pasien rawat jalan atau rawat inap selama 3 hari di rumah sakit tanpa ada penjelasan mengenai penyebab demam, atau 1 minggu observasi secara invasif dan menyeluruh.

FUO Nosokomial

     Pada FUO nosokomial, temperatur > 38,3oC terjadi pada beberapa pasien yang dirawat di rumah sakit yang mendapat perawatan akut (acute care) dan menderita infeksi yang tidak bermanifestasi atau ketika masuk ke rumah sakit berada dalam masa inkubasi. Observasi dilakukan selama 3 hari, termasuk inkubasi kultur selama 2 hari, merupakan syarat minimum untuk menegakkan diagnosis.

FUO Neutropenik

     FUO neutropenik didefinisikan sebagai temperatur > 38,3oC pada beberapa pasien dengan hitung neutrofil < 500/mL atau diperkirakan akan mencapai angka tersebut dalam 1sampai 2 hari. Diagnosis FUO neutropenik dipertimbangkan jika penyebab spesifik tidak teridentifikasi setelah observasi selama 3 hari, termasuk sekurang-kurangnya 2 hari inkubasi kultur.

FUO pada Pasien HIV

     FUO yang berhubungan dengan infeksi HIV didefinisikan sebagai temperatur > 38,3oC pada beberapa keadaan yang berlangsung selama > 4 minggu pada pasien rawat jalan atau > 3 hari perawatan pada pasien rawat inap dengan infeksi HIV. Diagnosis ini dipertimbangkan bila setelah observasi lebih dari 3 hari, termasuk 2 hari inkubasi kultur, penyebab demam tetap tidak terungkap.

Tabel 1. Kategori FUO



Situasi Pasien
Durasi penyakit selama observasi
Contoh penyebab
Nosokomial
Dirawat di rumah sakit, perawatan akut, tidak ada infeksi ketika masuk RS
3 hari
Tromboflebitis septik, sinusitis, kolitis Clostridium difficile, demam akibat obat
Neutropenik
Hitung Neutrofil <500/mL atau diperkirakan mencapai nilai tersebut dalam 1-2 hari
3 hari
Infeksi perianal, aspergilosis, candidiemia
Berhubungan dengan HIV
Telah dikonfirmasi menderita HIV
3 hari (atau 4 minggu pada pasien rawat jalan)
Infeksi MAI, TBC, Limfoma Hodgkin, demam akibat obat
Klasik
Selain yang di atas dengan demam > 3 minggu
3 hari atau 3 kali kunjungan rawat jalan
Infeksi, keganasan, penyakit inflamasi, demam akibat obat.

PENYEBAB FUO KLASIK

     Infeksi, terutama TBC ekstra pulmonal, tetap menjadi penyebab terbanyak dari FUO. Sindroma mononukleosis yang lama yang disebabkan oleh virus Epstein-Barr, CMV, atau HIV, merupakan keadaan yang harus dipertimbangkan sebagai penyebab FUO yang kadang kala dibingungkan dengan respon antibodi terlambat. Abses intraabdomen dan abses renal, retroperitoneal, dan paraspinal sampai saat ini masih sulit didiagnosis. Malakoplakia renal dapat menyebabakan FUO dan seringkali fatal bila tidak ditangani. Keadaan tersebut disertai dengan infeksi coliform yang  paling sering timbul pada pasien dengan defek pada kemampuan membunuh bakteri intraseluler, dan diobati dengan fluoroquinolon atau trimetoprim-sulfametoksazol. Kadang-kadang, organ-organ lain dapat terlibat. Osteomielitis, terutama setelah implantasi piranti prostetik, dan endokarditis infektif harus dipertimbangkan. Walaupun kultur pada endokarditis jarang memberikan hasil negatif yang nyata, mungkin saja terjadi kesalahan akibat adanya organisme tumbuh-lambat dari kelompok HACEK (Haemophilus aphrophilus, Actionobacillus actinomycetemcomitans, Cardiobacterium hominis, Eikenella corrodens, dan Kingella kingae), Bartonella spp, Legionella spp, Coxiella burnetti, Chlamydia psittaci, dan fungi. Prostatitis, abses dentis, sinusitis, dan kolangitis tetap dapat menjadi penyebab dari demam yang tersamar.
     Penyakit jamur, yang paling sering ditemukan adalah histoplamosis yang melibatkan sistem retikuloendotelial, dapat menyebabkan FUO. Pada FUO yang disertai sakit kepala harus dilakukan pemeriksaan seksama cairan spinal untuk mencari Cryptococcus neoformans. Malaria dapat menjadi penyebab FUO, terutama pada FUO non-sinkronisasi.  Suatu organisme yang berhubungan dengan spesies protozoa, Babesia, mungkin menyebabkan FUO, dan insidensinya saat ini semakin meningkat.
     Pada masa yang lalu, neoplasma merupakan penyebab FUO tersering setelah infeksi. Pada dua tahun belakangan ini, terjadi penurunan presentasi FUO yang disebabkan keganasan, dan hal ini dihubungkan dengan semakin majunya teknologi diagnostik. Pemikiran tersebut tidak mengurangi pentingnya mempertimbangkan neoplasia pada evaluasi diagnostik dini pada pasien dengan demam. Akhir-akhir ini sekitar 25 sampai 30% kasus FUO tidak terdiagnosis. 

Tabel 2. Keganasan yang Biasanya disertai dengan FUO


Penyakit Hodgkin
Limfoma non Hodgkin
Leukemia (termasuk fase preleukemik dan aleukemik
Karsinoma sel renal
Hepatoma
 Karsinoma kolon
     Pada orang tua, penyakit multisistem merupakan penyebab tersering dari FUO. Arteritis sel raksasa menjadi etiologi terbanyak pada kategori ini. Tuberkulosis merupakan infeksi yang paling sering menjadi penyebab FUO pada orang tua. Kanker kolon merupakan penyebab tersering FUO pada keganasan.
     Beberapa penyakit dimasukkan dalam kelompok “miscellanous”. Penyakit yang termasuk dalam kelompok ini antara lain emboli paru, demam palsu, demam mediteranian familial, dan penyakit Fabry.
     Etiologi yang berhubungan dengan obat-obatan harus dipertimbangkan pada setiap kasus demam lama. Setiap pola demam mungkin dicetuskan oleh obat, dan bradikardia relatif serta hipotensi tidak jarang ikut menyertai. Eosinofilia dan/atau ruam ditemukan pada seperlima pasien dengan demam akibat obat. Demam ini biasanya timbul 1 sampai 3 minggu setelah dimulainya terapi dan menetap 2 sampai 3 hari setelah terapi dihentikan. Sebenarnya, semua jenis obat dapat menyebabkan demam, tetapi antimikroba (terutama antibiotik b laktam), obat kardiovaskuler, antineoplasma, dan obat-obatan yang bekerja pada sistem saraf pusat (misalnya fenitoin) merupakan penyebab tersering.
     Telah menjadi suatu aksioma, bahwa seiring dengan meningkatnya durasi demam, kecenderungan penyakit infeksi sebagai penyebab demam semakin menurun.

Tabel 3. Penyebab FUO yang Berlangsung > 6 Bulan


Penyebab
Kasus (%)
Tidak teridentifikasi
Penyebab lain-lain
Penyebab palsu (factitious)
Hepatitis granulomatosa
Neoplasma
Penyakit Still
Infeksi
Penyakit kolagen vaskuler
Demam mediteranian familial
Tidak demam
19
13
9
8
7
6
6
4
3
27



STUDI DIAGNOSTIK

    

FUO KLASIK

     Beberapa tindakan diagnositik tertentu menjadi sangat penting dalam penegakan diagnosis demam yang lama. Jika dicurigai terjadi suatu demam palsu, maka pengukuran temperatur sebaiknya menggunakan termometer elektronik, diawasi, dan harus dilakukan pengukuran temperatur urine dan tubuh yang simultan. Setiap jaringan yang diambil pada tindakan bedah yang berhubungan sebelumnya harus diperiksa ulang; jika perlu blok parafin dari jaringan patologis diperiksa ulang dan dilakukan pemeriksaan tambahan khusus lainnya. Foto rontgen sebaiknya juga diperiksa ulang, untuk melihat kemungkinan tidak memadainya laporan terdahulu. Pengambilan serum penderita dilakukan sesegera mungkin dan disimpan di laboratorium untuk kemudian dilakukan pemeriksaan kenaikan titer antibodi. Pada infeksi Salmonella terjadi peningkatan titer antibode terhadap antigen H dan O. Titer antibodi terhadap antigen H yang tetap tinggi selama bertahun-tahun menunjukkan infeksi terdahulu atau imunisasi. Sampel darah multipel, termasuk sampel untuk kultur anaerobik, harus dikultur di laboratorium sekurang-kurangnya selama 2 minggu, untuk memastikan organisme HACEK, sebagai salah satu kemungkinan penyebab, memiliki cukup waktu untuk tumbuh. Teknik kultur darah dengan lisis-sentrifugasi sebaiknya dilakukan pada kasus di mana pasien telah diberi antimikroba atau ada kecurigaan ke arah infeksi fungi atau mikobakteri atipik. Media kultur darah sebaiknya disuplementasi dengan L-sistein atau piridoksal untuk membantu isolasi varian streptokokkus. Kultur urine, termasuk kultur terhadap mikobakterium, fungi, dan CMV, merupakan indikasi. Beberapa jenis patogen seperti CMV atau virus Hepatitis C dapat diperiksa dalam darah, urin, dan cairan serebrosipinal dengan metode polymerase chain reaction (PCR). Biopsi hati, bahkan jika hasil pemeriksaan fungsi hati normal, tetap harus dipertimbangkan dan dilakukan jika diagnosis belum dapat ditegakkan. Jaringan hasil biopsi dikultur untuk mencari kemungkinan infeksi mikobakterium dan fungi. Biopsi sumsum tulang (bukan aspirasi sederhana) harus dilakukan untuk kemudian dikultur dan dilakukan pemeriksaan histologi. Apus darah harus diperiksa untuk mencari Plasmodium, Babesia, Tripanosoma, Leishmania, dan Borrelia.

     Elevasi erythrocyte sedimentation rate (ESR) dan anemia pada penyakit kronis seringkali terjadi pada arteritis sel raksasa atau polimialgia reumatika, suatu penyebab yang umum pada pasien berusia di atas 50 tahun. Penyakit Still juga ditunjukkan dengan peningkatan ESR, leukositosis, dan anemia, dan sering disertai dengan atralgia, poliserositis, limfadenopati, splenomegali, dan ruam. Antibodi antinuklear, antibodi sitoplasmik antineutrofil, faktor reumatoid, dan krioglobulin serum harus diperiksa untuk menyingkirkan penykait vaskuler kolagen dan vaskulitis. Penyebab lain dari peningkatan ESR yang ekstrim kemungkinan adalah false-positive akibat cold aglutinin dengan amplitudo temperatur yang lebar. Tes ESR tidak spesifik, karena nilainya tergantung serum protein tertentu (yang paling mencolok adalah fibrinogen). Apabila kadar fibrinogen meningkat, potensial-zeta akan terhambat, eritrosit menggumpal, dan ESR menjadi tinggi. Cold aglutinin yang berikatan dengan eritrosit dapat menyebabkan nilai aglutinin menjadi false-positive yang menyerupai respon fase akut. Cold aglutinin mungkin tampak pada infeksi Mycoplasma dan virus Epstein-Barr, atau pada limfoma.
     Tes PPD harus dilakukan untuk skrining tuberkulosis pada pasien dengan FUO klasik. Tes kontrol, seperti tes CMI (Connaught Labs, Swiftwater, PA) harus dillakukan. Harus diingat, bahwa tes PPD dan tes kontrol dapat memberikan hasil negatif pada tuberkulosis milier, sarkoidosis, penyakit Hodgkin, malnutrisi, atau AIDS. Prosedur non invasif yang dilkukan termasuk pemeriksaan gastrointestinal atas dengan kontras, small-bowel follow-through dan barium enema untuk memeriksa ileum dan saekum. Apabila terdapat gejala baru, harus dilakukan foto Thoraks ulang. Pada beberapa kasus, pemeriksaan fungsi paru mungkin diperlukan. Kapasitas difusi karbon monoksida yang menurun mengindikasikan penyakit paru-paru restriktif, seperti sarkoidosis, walaupun hasil foto thoraks normal. Pada kasus tersebut, biopsi transbronkial dapat memastikan diagnosis. Kolonoskopi fleksibel mungkin diperlukan, mengingat karsinoma kolon merupakan salah satu penyebab FUO dan sering tidak terdeteksi dengan USG maupun CT scan.
     CT scan dada dan abdomen mungkin perlu dilakukan. Apabila dicurigai adanya lesi spinal atau paraspinal, sebaiknya dilakukan pemeriksaan MRI. MRI juga lebih baik dalam mendeteksi abses intraabdominal dan diseksi aorta dibandingkan dengan CT. Arteriografi dapat bermanfaat pada pasien yang dicurigai menderita vaskulitis nekrkotikans sistemik. Dengan arteriografi, aneurisma sakular dapat terlihat (paling sering pada pembuluh darah renal atau hepatik) dan memungkinkan diagnosis arteritis jika biopsi sulit dilakukan. USG abdomen bermanfaat untuk memeriksa traktus hepatobilier, ginjal, limpa, dan pelvis. Ekhokardiografi akan membantu evaluasi terhadap endokarditis bakterialis, perikarditis, endokarditis trombotik nonbakterial, dan miksoma atrium.
     Prosedur scanning radionuklida dengan menggunakan technetium (Tc) 99m koloid sulfur, gallium (Ga) 67 sitrat, atau indium (In) 111-yang dilabel dengan leukosit atau imunoglobulin bermanfaat untuk mengidentifikasi dan/atau melokalisasi proses inflamasi. Scan tulang dengan Tc dilakukan untuk mencari osteomyelitis atau metastase ke tulang; scan dengan Ga dapat digunakan untuk mengidentifikasi sarkoidosis atau Pneumocistis carinii pada paru-paru, atau penyakit Crohn. 111-yang dilabel dengan sel darah putih membantu mencari lokasi abses.
     Biopsi hati dan sumsum tulang sebaiknya dijadikan pemeriksaan rutin apabila pemeriksaan-pemeriksaan yang telah disebutkan di atas tetap tidak dapat mengungkap penyebab FUO, atau jika demam terjadi memanjang. Pengambilan jaringan yang dicurigai untuk  pemeriksaan patologi harus selalu dilakukan. Teknologi PCR memungkinkan identifikasi DNA mikobakterium pada jaringan yang telah difiksasi dengan parafin. Pada pasien yang berusia di atas 50 tahun, dengan gejala dan hasil laboratorium yang sesuai, blind biopsy salah satu atau kedua arteri temporalis dapat membantu penegakan diagnosis arteritis. Biopsi nodul limfatik dilakukan jika terdapat pembesaran, tetapi nodul di inguinal seringkali teraba dan jarang bermanfaat secara diagnostik.
     Laparotomi eksplorasi dilakukan apabila seluruh prosedur diagnostik gagal menyingkap FUO. Tetapi prosedur ini telah tergeser dengan kehadiran pencitraan moderen dan teknik biopsi dengan panduan. Namun biopsi laparoskopik pada hati dan nodul limfatik memberikan hasil yang lebih adekuat.

FUO Nosokomial

     Pertimbangan utama dalam mendiagnosis FUO nososkomial adalah terdapatnya kemungkinan yang mendasari pada pasien dan terdapatnya potensi komplikasi akibat perawatan di rumah sakit. Area tempat dilakukannya tindakan operasi merupakan tempat yang pertama kali diperiksa, baik pemeriksaan fisik maupun laboratorium, untuk mencari adanya abses, hematoma, atau badan asing yang terinfeksi. Lebih dari 50% pasien dengan FUO nosokomial terinfeksi, dan kemungkinan berupa infeksi intravaskuler, flebitis septik, dan infeksi akibat pemasangan protesa. Kolitis akibat Clostridium difficile dapat disertai dengan demam dan leukositosis sebelum terjadinya  diare. Pada sekitar 25% pasien dengan FUO nosokomial, demam yang terjadi bukan disebabkan oleh infeksi, di antaranya adalah kolesistits acalculous, tromboflebitis vena dalam, dan emboli paru. Demam akibat obat, reaksi tranfusi, penghentian tiba-tiba konsumsi alkohol/obat, insufisiensi adrenal, tiroiditis, pankreatitis, gout, dan pseudogout merupakan beberapa kemungkinan penyebab FUO nosokomial yang harus dipertimbangkan. Seperti pada FUO klasik, pemeriksaan fisik berulang secara teliti, ditambah dengan teknik diagnostik yang terfokus merupakan hal yang mendasar. Kultur darah mltiple, kultur luka dan cairan merupakan prosedur yang harus dilakukan.

FUO Neutropenik

     Pasien dengan neutropenia sangat rentan terhadap infeksi bakteri dan fungi fokal, infeksi bakteriema, infeksi akibat pemasangan kateter (termasuk tromboflebitis septik), dan infeksi perianal. Infeksi candida dan aspergillus juga sering terjadi. Infeksi yang berhubungan dengan virus herpes simpleks atau CMV kadang-kadang menyebabkan FUO pada pasien neutropenia. Walaupun durasi penyakit mungkin pendek pada jenis pasien ini, konsekuensi dari infeksi yang tidak ditangani dapat sangat fatal.

FUO pada Pasien HIV

     Infeksi HIV tersendiri dapat menyebabkan demam. Infeksi yang berhubungan dengan Mycobacterium avium atau Mycobacterium intracellulare, tuberkulosis, toksoplasmosis, infeksi CMV, Infeksi P. carinii, salmonellosis, cryptococcosis, histoplasmosis, limfoma non Hodgkin, dan demam akibat obat, seluruhnya merupakan kemungkinan penyebab FUO. Infeksi mikobakterium dapat didiagnosis dengan kultur daran, dan biopsi hati, sumsum tulang, dan nodul limfatik. CT dada sebaiknya dilakukan untuk  mengidentifikasi pembesaran nodul mediastinum. Pemeriksaan serologis dapat menunjukkan antigen cryptococcus, dan scan 67Ga dapat membantu identifikasi infeksi paru akibat P. carinii. Lebih dari 80% penderita HIV dengan FUO mengalami infeksi, tetapi demam akibat obat dan limfoma tetap menjadi pertimbangan utama.

0 Response to "(Fever of Unknown Origin)"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel